Nightmare : Mentari Dalam Mimpi

Oleh: Helena Nasution


Untuk yang kesekian kalinya aku kembali ke tempat itu.Tempat di mana hujan tak pernah reda.Tempat di mana kegelapan bersarang.Tempat di mana badai angin menerpa—seolah seluruh penjuru mata angin berpusat di tempat itu.Tempat yang aneh sekaligus misterius.Aku tak melihat apa pun di sana,kecuali tumpukan pohon yang menjulang tinggi dan berbaris rapi menuju dunia tanpa batas.Semesta yang tak memiliki akhir.Aku masih berdiri di tempat semula.Berusaha melawan udara dingin yang tak berbelas kasih.Semuanya basah sekarang! Tidak,lebih tepatnya, aku telah basah kuyup sekarang,mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki.Tubuhku gemetar. Otot-ototku berkontraksi melawan dingin.Kulitku membeku bersama udara yang kebas.Tak adakah yang bisa membantuku? Tak adakah yang peduli? Aku melolong dalam hati.Bibirku bahkan tak mampu mengucap kata.Dan suaraku tercekat di tenggorokan.Bahkan untuk berkata ‘tolong’,rasanya sangat sulit.Lidahku terasa kelu dan beku bersama debu-debu padat yang terombang-ambing dalam arus bayu ganas dan guyuran hujan raksasa.
De javu!
Tempat ini sungguh tidak asing.Percayalah! Seolah aku sudah beberapa kali berkunjung ke tempat ini.Namun pikiranku bagai terkubur dalam lubang hitam yang tersembunyi di balik langit malam,aku tak bisa mengingat apa pun tentang bagaimana aku ke sini dan kapan aku ke sini sebelumnya,kecuali perasaan yang mengatakan bahwa aku pernah ke sini—ke tempat ini. Perasaan itu begitu kuat,hingga aku begitu yakin bahwa di sebelah kanan tempat aku berdiri sekarang terdapat sebuah bangunan kuno gaya arsitektur Yunani abad pertengahan.Sebuah Era di mana para dewa dan dewi dalam mitologi Yunani kuno masih berkuasa atas segala hal yang terdapat dalam bumi.Dan manusia begitu memuja keberadaan mereka.
Aku belum melihatnya—maksudku,aku belum melihat bangunan itu.Bangunan imajiner berupa istana yunani kuno yang terbengkalai—dan yang sampai sekarang kehadirannya hanya ada dalam perasaan.Aku ingin sekali bisa bergerak. Aku tidak ingin hanya berdiri di sini—berdiri di tempat aku sekarang—dan membiarkan tubuhku dilahap badai tanpa iba.Tapi rasanya begitu sulit.Sangat sulit! Kedua kakiku seolah telah terisolasi pada bumi.Terpaku pada tanahnya yang lembab dan becek,hingga aku tak punya kesempatan untuk menghindar dari amukan petir dan tumpahan air hujan yang merajalela.Aku meringis.Berharap akan ada orang yang bisa membantuku.Kenapa aku begitu lemah? Gerutuku dalam hati.Bahkan untuk menggerakkan kakiku pun tampak begitu mustahil.Ayolah,ini hanya mimpi.Ini tidak benar-benar terjadi. Pekikku dalam hati.Mataku terasa kaku,sembab,dan berat.Wajahku merah dan meregang karena dingin.Bibirku bergetar hebat,begitu juga seluruh tubuhku.Aku sungguh menggigil.Ya Tuhan, tolong keluarkan aku dari mimpi buruk ini.Bisikku dengan nada letih dan tampak kehilangan asa.Kalimat itu terucap dengan nada samar dan nyaris berbisik.Dan aku begitu bahagia begitu menyadari bahwa aku telah mampu untuk bicara,meski kata yang terucap terdengar bagai dengungan lebah yang tak bermakna.Jika aku sudah kembali mampu berbicara,bukan tidak mungkin aku juga akan mampu bergerak dan berjalan agar bisa menemukan bangunan itu. Pikirku dalam hati.Aku tidak begitu tahu mangapa aku begitu yakin akan keberadaan bangunan itu.Tapi,apa salahnya mencoba.Pikirku lagi.Toh,ini hanya mimpi.Tidak apa bertualang,sedikit saja.Karena pada akhirnya aku akan menemukan diriku kembali pada pagi harinya berada di tempat tidur.Bangun dengan nafas tersengal-sengal,dan kemudian mandi,sarapan,pergi ke kampus,dan menjalani rutinitas harianku yang membosankan.
Aku mencoba membuang rasa takut.Tak kan terjadi apa-apa.Aku mencoba menenangkan diri.Tak kan ada monster.Tidak ada tantangan aneh.Ini bukan Hunger Games.Lagi pula,tidak akan ada yang membunuhku dalam mimpi.Ini bukan cerita dalam Nightmare on the Elm Street. Ini hanya mimpi.Amanda,percayalah! Sekali lagi aku berusaha meyakinkan diriku,bahwa sebentar lagi,cepat atau lambat,aku akan kembali berada di atas kasur kecilku yang sekarang telah kehilangan keempukannya karena sudah berusia beberapa tahun.Dengan kata lain, elastisitas kasurnya telah berkurang,karena mungkin pegas-pegasnya telah melemah.
Lalu,entah keajaiban apa yang terjadi.Seolah peri-peri mungil kawanan Thinker Bell baru saja keluar dari dunianya,hanya untuk membantuku berjalan.Mungkin ini terlalu berlebihan.Tapi apa boleh buat,rasa dingin membuatku membeku.Dan ku rasa,siapa pun akan kesulitan berjalan di tengah badai hujan yang menggempur,di tengah-tengah hembusan angin yang bergejolak.Di mana petir tak pernah sunyi seolah tengah melakukan kampanye.
AKU SUDAH BISA BERJALAN!
Aku memekik gembira.Bagai bayi berusia dua tahun yang baru saja lulus tes berjalan,aku begitu gembira,hingga tak ingin berhenti dan berdiam diri.Aku mau berlari.Berlari untuk menemukan gedung itu.
Tepat di hadapanku.Bangunan itu muncul dengan angkuh.Seolah daritadi telah menunggu kedatanganku. “Amanda Mayer,sebuah suara memanggilku”.Aku menoleh dan kembali tanpa menemukan apa pun kecuali sebuah misteri aneh yang aku sendiri bahkan tidak mengerti bagaimana kronologinya.Satu-satunya hal yang kutahu,sekarang aku berada dalam mentari.Sebuah suara membimbingku menuju dunia yang dipenuhi penemuan mutakhir,dan aku menemukan diriku berada di tengah-tengah penemuan dimensi waktu.
Kring kring kring
Bunyi alarm berbunyi.
Aku terbangun dari mimpi buruk.

Seperti dugaanku sebelumnya.Tapi satu hal yang aneh,aku menggenggam beberapa butir serbuk Helium di tanganku.Serbuk Helium dari matahari? Entahlah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

NOVEL TRANSLATION: CHAPTER LIST OF HER LADYSHIP'S SCHEME

HER LADYSHIP'S SCHEME

HER LADYSHIP'S SCHEME