Cerbung: Pintu Senja (2nd Sequel)
Pintu Senja
(2nd Sequel)
Written by:
Helena Nasution
Image source: google.com
Telepon berdering dari sudut ruangan, di mana dua buah kendi keramik besar seukuran manusia dewasa berdiri kokoh mengapit meja kayu antik buatan Jepara. Telepon itu tergeletak santai di atas meja sambil terus berdering nyaring hingga gemanya memantul ke seluruh isi ruangan. Aku masih memandangi Bibi Elly, tidak tahu harus berkomentar apa. 'Aku sama sekali tidak ke gudang, Bi. Percayalah'. Kalimat itu belum sempat terlontar ketika Bibi Elly akhirnya berkata pasrah. "Ah, mungkin karena aku memang sudah tua. Aku mungkin salah mengira itu kamu. Kau pasti mengerti kalau penglihatanku sudah semakin memburuk."
"Kau yakin kau tidak salah lihat?" Tanyaku dengan jantung yang kembali bergemuruh. Bagaimana bisa Bibi Elly juga mengalami kejadian yang sama denganku? Aku benar-benar masih belum mengerti.
"Aku pasti salah lihat." Katanya lagi. "Aku akan mengangkat teleponnya."
"Eh, tidak. Biar aku saja yang mengangkatnya, Bi. Sekarang duduklah di atas sofa, karena ada banyak hal yang ingin kutanyakan padamu." Kataku sambil berlalu. Langkahku terburu-buru menuju telepon. Aku langsung mengangkat gagangnya ketika telepon itu hendak kembali berdering. "Hallo!"
"Hallo, nak. Ini Mama." Suara Mama terdengar lembut dari seberang telepon. "Mama cuma mau bilang kalau Mama sama Papa tidak bisa pulang malam ini. Kami akan kembali ke rumah besok sore ketika pekerjaan di sini sudah selesai semua."
Ya Tuhan! Bagaimana ini? Bagaimana mungkin malam ini aku akan tidur sendirian di lantai dua? Aku mulai gelisah. Meskipun tidur di kamar yang berbeda dengan Papa dan Mama, setidaknya jika mereka berdua di rumah, akan ada yang menemaniku saat tidur. Tetapi jika tidak, aku akan benar-benar sendirian, karena kamar Eby dan Kim berada di lantai satu, di dekat kamar Bibi Elly. Kamar Tuan Denim juga berada di lantai satu, di ruang belakang.
"Tolong jaga kedua adikmu. Jangan pergi ke mana-mana, karena sekarang kejahatan bisa terjadi di mana pun. Jika memang harus keluar rumah, minta tolonglah pada Tuan Denim. Jangan lupa makan. Jangan lupa mengunci seluruh ruangan, dan kerjakan PR kalian dengan baik. Apa kau mengerti, Dea?" Tanya Mama dengan nada impressif.
"Baik, Ma." Ujarku dengan pasrah. Aku masih tidak bisa membayangkan hal apalagi yang akan terjadi, terutama ketika mengingat kejadian di perpustakaan bawah tanah. Tidak ada hal apa pun yang terjadi sebelumnya, setidaknya selama seminggu ini, kecuali suara-suara misterius yang berasal dari belakang lemari. Kejadian di perpustakaan dan kejadian yang menimpa Bibi Elly di gudang merupakan kali pertama di rumah ini. Bagaimana kalau yang terjadi beberapa saat yang lalu adalah awal dari segalanya? Bagaimana jika sesuatu yang lain terjadi? Sesuatu yang lebih besar dan menakutkan? Hah, apa aku sudah gila? Itu tidak akan terjadi, Dea. Aku berusaha meyakinkan diriku sendiri.
"Baik, kalau begitu. Mama tutup teleponnya, ya."
"Oke, Ma." Ada bunyi tuts singkat dari telepon--menandakan koneksi teleponnya sudah terputus.
Aku kembali tergopoh-gopoh menuju sofa, dan aku sedikit kecewa ketika menemukan Bibi Elly sudah tidak ada di sana. "Hey, kalian, kalian tahu ke mana Bibi Elly pergi?" Aku menoleh pada Eby dan Kim. Eby melihatku dengan kesal. "Kenapa kau selalu menanyakan Bibi Elly? Oh God, aku tidak tahu apa kau sedang kerasukan atau apa mungkin kau mulai mengidolakannya?" Itu adalah pertanyaan retoris dari Eby yang tidak perlu ku jawab, karena aku sangat yakin aku sedang tidak kerasukan dan aku sama sekali tidak mengidolakan Bibi Elly, tapi aku menghormatinya, itu saja.
"Tadi aku lihat dia berjalan ke arah dapur." Akhirnya Eby memberitahuku.
"Well, okay, terima kasih." Sahutku. "Dan kau Kim...." Aku berjalan ke arah Kim. "Apa aku boleh menginap di kamarmu malam ini? Aku mohon, please!" Aku mulai mengiba--berusaha untuk terlihat sesedih mungkin, karena aku tahu dia sama keras kepalanya dengan Eby, tapi setidaknya Eby lebih baik, menurutku. Dan jika alasanku tidak masuk akal, dia tidak akan mengizinkanku untuk masuk ke dalam kamarnya. Mereka dulu tidak begitu, tentu saja. Saat itu mereka masih kecil, dan aku bebas keluar masuk kamar mereka kapan pun aku mau. Tapi semenjak mereka duduk di bangku SMP, sepertinya segalanya mulai berubah, seolah-olah ada peraturan baru secara tersirat yang berbunyi, 'Dilarang memasuki kamar Eby dan Kim. Kalian pasti mengerti apa yang dimaksud dengan Teen's rules, sehingga kami tidak perlu menjelaskannya." Well yah, aku tidak akan berdebat soal Teen's Rules , karena menurutku setiap anak-anak yang mulai menginjak remaja akan mulai bertindak seolah-olah mereka adalah orang dewasa, termasuk membuat undang-undang sendiri tentang 'peraturan memasuki kamar'. Selama itu masih dalam tahap yang wajar, menurutku itu sah-sah saja. Setidaknya aku masih diperbolehkan untuk sesekali keluar masuk kamar mereka, misalnya untuk meminjam sesuatu. Dan tentu saja, untuk Papa dan Mama, Teen's Rules sama sekali tidak berlaku. Mereka bisa keluar masuk kamar Kim dan Eby kapan saja mereka mau.
"Memangnya kenapa?" Tanya Kim. Aku tahu dia akan menanyakanku alasan tidur di kamarnya.
"Mama dan Papa tidak akan pulang malam ini. Jadi, apa kau tega membiarkanku sendirian di atas?" Tanyaku, masih dengan ekspresi mengiba.
"Baiklah, baiklah. Aku akan membiarkanmu kali ini." Sahut Kim.
"Yeaayyy...., terima kasih...terima kasih." Aku melonjak kegirangan dan secara spontan langsung memeluk Kim. Kim memutar kedua bola matanya, karena menganggap aku terlalu berlebihan. Aku tidak peduli dengan pendapatnya, karena aku sangat senang bisa tidur di bawah. Mungkin dengan begitu, aku tidak akan mendengar suara-suara itu lagi, setidaknya untuk malam ini.
Lalu, aku tiba-tiba kembali teringat dengan Bibi Elly. Aku sontak berlari menuju dapur, tapi lagi-lagi perempuan itu menghilang, tanpa jejak. Di dapur, aku melihat kompor menyala dan mencium aroma sup yang membuat perutku kembali keroncongan. Aku mendekati kompor itu dan membuka tutup pancinya. Kuahnya sudah mendidih, dan tampaknya supnya sudah masak, jadi aku mematikan api kompornya. Aku melihat sekeliling, melongo ke dalam toilet, membuka pintu yang menghubungkan dapur dan halaman belakang, kemudian membuka ruangan kecil yang merupakan tempat menyimpan beberapa perabotan dapur, tapi hasilnya kembali nihil. Aku sama sekali tidak menemukan tanda-tanda keberadaan Bibi Elly. Aku lalu mengurungkan niatku untuk menanyakan apa pun yang berseliweran di kepalaku. Aku keluar dari dapur dan berjalan lunglai menuju ruangan tengah sekaligus ruangan paling besar di rumah itu. Kim masih berada di sofa, tapi Eby sudah tidak kelihatan. Aku mendengar suara kran air menyala dari kamar Eby, sepertinya dia sedang mandi.
~~~~~~~~~~~~~
Image source: google.com
Pukul 20.00.
Setelah aku dan si kembar selesai makan malam. Aku sama sekali belum melihat Bibi Elly, biasanya dia akan datang dan menemani kami makan. Tapi tidak kali ini. Apa mungkin dia ada di kamarnya? Aku kemudian mendatangi kamarnya. Aku mengetuk pintunya tapi tidak ada jawaban. Aku berusaha membuka pintunya, tapi terkunci. Akhirnya aku memutuskan untuk pergi saja ke kamar Kim. 'Mungkin dia terlalu lelah hari ini, jadi dia memutuskan untuk tidur lebih cepat'. Pikirku. 'Bukankah dia memang lumayan sering tidur cepat?' Batinku lagi, berusaha meyakinkan diri sendiri kalau perempuan yang mulai menginjak usia lanjut itu memang sedang tidur. Sebelum pergi ke kamar Kim, aku akan ke lantai dua terlebih dahulu untuk mengambil beberapa buku yang kutemukan di perpustakaan beberapa hari yang lalu. Aku membuka pintu kamarku lalu mengambil sebuah buku sejarah yang berisi tentang runtuhnya Atlantis, dan sebuah buku hitam berukuran sedang dari dalam laci meja belajarku. Buku bersampul hitam itu berbentuk seperti buku catatan dan memiliki kunci. Sepertinya pemiliknya terdahulu tidak ingin ada orang lain yang membaca bukunya, makanya buku ini memiliki kunci. Tapi entah mengapa akhirnya dia membiarkan buku ini terselip di antara buku-buku yang lain, dan membiarkan orang lain menemukan dan membaca bukunya, lebih tepatnya, membiarkanku untuk membacanya.
Aku sudah kembali ke lantai satu dan sekarang berada di kamar Kim. Kim berada di meja belajarnya, membuka laptop, lalu menyumbat kedua telinganya dengan headset untuk mendengarkan musik. Sementara itu, aku menghempaskan diri ke atas kasur dan mulai membaca catatan pribadi itu. Sebenarnya, sudah sejak dua hari yang lalu aku membaca catatan itu, tapi sampai sekarang aku sama sekali tidak mengerti apa maksudnya. Sepertinya pemilik catatan ini merupakan orang yang begitu mengagumi sastra, sehingga aku tidak begitu mengerti apa yang dia bicarakan di dalam bukunya. Catatan itu berbunyi seperti ini:
Saat gerbang itu menganga, dua akan menjadi satu
Bintik-bintik jingga itu adalah saksi akan segalanya
Dan kayu-kayu tak berdosa itu akan ikut serta membantu
Saat gerbang itu menganga, si pencuri kehidupan akan tiba
Satu akan menjadi yang lainnya, dan satu akan tenggelam dalam ketiadaan
Kala itu tiba, sentuhan tidak lagi bermakna cinta
Tapi sebuah lubang hitam menuju pantai sunyi
Saat gerbang itu menganga, bayangan akan menjadi nyata
Jangan sesekali mencoba melindungi bayanganmu, atau bahkan mendekat
Dan jangan bersikap manis pada cerminmu
Saat gerbang itu menganga, carilah tempat berteduh
Tempat yang damai tanpa mentari siang
Sebuah pohon di bukit Capella
Sebuah kunci untuk menutup gerbangnya
Sebelum lingkaran itu kembali sempurna kemudian berputar
Image source: google.com
Arrrghhh...Aku menggerutu. Apa sih, maksudnya? Aku mengoceh dalam hati. Apa si pemilik buku ini tidak bisa berbicara dalam bahasa yang lebih sederhana? Oh ya ampun, aku tidak ingin mati dalam keadaan penasaran, pekikku dalam hati. Tapi jika dibaca berulang-ulang, sepertinya aku mulai memahami satu atau dua kata di dalamnya. Ada kata 'bintik jingga', yang kemungkinan artinya adalah senja. Lalu, ada 'kayu-kayu tak berdosa', apa mungkin itu sebuah bangunan yang dijadikan tempat beribadah? Aku masih belum jelas soal yang ini. Kata 'gerbang' beberapa kali disebutkan, gerbang apa maksudnya? Dia juga berbicara tentang bayangan, tentang ketiadaan, tentang cinta, lubang hitam, pantai, cermin, dan bukit. Untuk kata 'pantai', apa mungkin itu maksudnya suara pantai yang terdengar dari belakang lemari? Hah, dia juga bicara soal lubang hitam, apa dia juga sedang membahas ruang angkasa? Apa mungkin dia juga bicara soal prinsip probabilitas, eksistensi, ketiadaan, dimensi waktu? Oh ya Tuhan, ini terlalu berat, aku lagi-lagi menggerutu. Apa mungkin si penulis juga seorang filsuf, sehingga kata-katanya harus seperti ini?
Aku kembali menekuni kalimat-kalimatnya. Aku membacanya berulang-ulang, namun sama sekali belum mengerti. 'Tempat yang damai tanpa mentari siang', apa ini artinya malam? Yah, secara logika, kebanyakan orang akan merasa damai ketika malam hari telah tiba, karena orang-orang bisa tidur dan beristirahat, dan saat malam hari memang tidak ada mentari. Untuk kalimat yang satu ini, aku merasa kemungkinan persentase kebenaran atas jawabanku mencapai 90%. Entah mengapa aku merasa optimis untuk jawaban yang satu ini. Lalu, soal 'Bukit Capella'? Apa maksudnya menyebut Capella di sini? Bukankah Capella itu nama bintang paling terang di rasi Auriga? Auriga adalah nama salah satu rasi bintang di angkasa, dan Capella adalah nama salah satu bintang di utara selain Vega dan Arcturus. Aku semakin yakin dia sedang membahas luar angkasa. Tapi...entahlah, hanya karena dia menyebut Capella bukan berarti dia membicarakan luar angkasa, bukan? Lalu dua baris terakhir dia menyebut 'kunci untuk menutup gerbang'. Ini jelas aku tidak mengerti kunci apa yang dimaksud. Kemudian, di baris terakhir, aku bingung mengapa lingkaran itu tidak boleh sempurna dan berputar? Ngomong-ngomong soal lingkaran yang berputar, bisa saja itu adalah roda kendaraan, planet-planet di angkasa, jam dinding jika bentuknya bulat, lalu kincir angin juga bisa jadi lingkaran yang berputar. Apa pun bisa menjadi lingkaran yang berputar. Tapi mana yang benar? Aku masih belum bisa menjawabnya.
Image source: google.com
Akhirnya, karena merasa pusing memikirkan maksud dari catatan itu, aku memutuskan untuk tidur saja. Aku menutup bukunya, menguncinya, dan menaruhnya di bawah bantalku agar Kim tidak membacanya. Aku melirik Kim sekilas, dia masih asyik mendengarkan musik dan streaming video di laptop. "Aku tidur duluan ya." Ujarku. Kim tidak membalas karena asyik menonton video.
Bersambung...
CHAPTER BERIKUTNYA : CHAPTER 03
Komentar
Posting Komentar