CERBUNG: PINTU SENJA
PINTU SENJA
(3rd Sequel)
written by:
Minggu, pukul 02.49 dini hari. Aku terbangun dari tidurku dan mendengar suara derik pintu terbuka dari ruang tengah. Aku bertanya-tanya siapa yang membuka pintu di saat Venus bahkan belum bangun. Aku mengucek mata dan menutup mulutku karena menguap. Aku melirik ke sebelah kananku dan menemukan Kim sudah tertidur lelap dengan sebuah headset masih tetap tertanam di kedua telinganya. Ruangan kamar Kim gelap sekali, hanya ada beberapa berkas cahaya bulan yang diam-diam merambat melalui ventilasi udara dan juga dari jendela-jendela kaca besar, karena tirai-tirainya kadang sedikit terbuka karena tertiup angin.
Saat mataku sudah mampu beradaptasi dengan kegelapan, aku beranjak dari atas kasur dan berusaha menemukan sepasang sandal kain berwarna coklat, yang biasa kukenakan saat berada di kamar. Aku melangkah menuju pintu kamar, lalu mengintip dari lubang kecil yang ada di permukaan pintu kayu itu. Aku menempelkan mataku sebelah kanan, berusaha melihat ke luar. Tidak ada apa pun di sana, kecuali lorong gelap dengan pencahayaan redup. Di depan kamar Kim ada kamar Eby, pintunya terkunci rapat dan tidak terdengar suara apa pun dari dalam. Di sebelah kamar Kim ada kamar Bibi Elly yang sejak tadi sore aku tak mendengar suara apa pun dari kamarnya, dan aku bahkan tak bertemu dengannya sejak terakhir kali dia keluar dari gudang untuk menemukan perkakas mobil Tuan Denim kemudian mengobrol sebentar denganku di ruang tengah, lalu menghilang entah ke mana. Untuk saat ini, aku hanya bisa mengira-ngira kalau dia sedang tertidur lelap di dalam kamar.
Aku tidak mendengar suara derik pintu lagi, kecuali suara tawa renyah dan santai yang seolah-olah berasal dari percakapan dua orang sahabat dekat yang sudah lama tak berjumpa. Aku merapatkan telinga kiriku pada pintu dan mendengarkan baik-baik apa yang suara-suara itu bicarakan. Aku sedikit terkejut ketika salah satu suara itu terdengar sangat tidak asing. Itu adalah suara si Pak sopir yang super rajin kalau diminta untuk mengantar kami ke mana pun alias Tuan Denim.
"Kau sudah lama bekerja di sini?" Suara yang lain bertanya.
"Kami baru saja pindah ke sini sekitar seminggu yang lalu. Tapi aku sudah bekerja dengan pemilik rumah ini selama lebih dari delapan tahun." Aku mendengar Tuan Denim menjawab dengan nada ramah.
"Ah--ku rasa kau sangat menikmati pekerjaanmu." Komentar suara asing itu.
"Yah, begitulah. Apalagi yang bisa ku lakukan. Kondisi perekonomian saat ini sangat susah untuk dilawan. Setidaknya aku masih bisa makan dengan tenang dan mengirim uang kepada keluargaku untuk memenuhi kebutuhan mereka." Jawab Tuan Denim.
"Keluarga?" Tanya suara asing itu lagi.
"Ya, aku pikir kau sudah tahu. Aku memiliki seorang isteri dan tiga orang anak di daerah Baron. Dua orang anakku sudah mulai menginjak remaja dan mulai susah dikendalikan. Kau pasti mengerti bagaimana rasanya memiliki anak-anak yang sedang dalam masa peralihan." Tuan Denim tiba-tiba tertawa, lalu diikuti dengan tawa lelaki asing itu yang sampai sekarang aku belum tahu itu siapa. Mereka tertawa seolah-olah saling mengerti persoalan yang sedang mereka hadapi masing-masing.
"Apa mereka mulai memberontak dan membuatmu kewalahan?" Laki-laki itu kembali bertanya.
"Ah, tidak juga. Mereka cukup patuh untuk ukuran remaja." Sahut Tuan Denim.
"Kau pasti bersyukur akan hal itu."
"Tentu saja. Tapi si Jim berandalan itu, terkadang dia membuatku kesal, tapi itu juga membuatku teringat dengan masa laluku. Kau tahu...." Tuan Denim tiba-tiba terdiam, lalu sesaat kemudian melanjutkan kalimatnya. "Dia adalah tipe pemberontak."
Lelaki asing itu sontak tertawa terbahak-bahak. "Yah, tentu saja, aku tak meragukan itu. Tipe pemberontak adalah tipe Denim muda saat era Amstrong berkelana ke bulan. Itu kau, sobat. Jangan menyalahkan anak itu untuk sesuatu yang kau sendiri tahu dari mana asalnya."
"Haha--kau benar, Ron." Tuan Denim menjawab dengan nada pasrah.
Jadi, nama pria itu adalah Ron? Aku bertanya-tanya dalam hati. Sesaat kemudian aku tak mendengar suara apa pun lagi, kecuali semilir angin yang berhembus lembut di udara. Aku merasakan aliran udara dingin merayap dari celah pintu bagian bawah dan mengitari kedua kakiku. Aku menggigil karena kedinginan. Aku baru saja hendak kembali ke atas ranjang untuk membungkus diriku dengan selimut ketika suara pria bernama Ron itu kembali terdengar. "Apa kau tidak punya rencana lain untuk mengubah kehidupanmu?"
"Em--rasanya aku sudah terlalu tua untuk memiliki mimpi yang terlalu banyak. Aku sudah bukan Denim Muda lagi, kawan." Si sopir itu tertawa. "Tentu saja siapa pun ingin memiliki kehidupan yang lebih baik. Tapi aku sudah tidak cukup kuat untuk mengambil resiko. Aku cukup menikmati pekerjaanku yang sekarang, jadi aku tidak ingin membuatnya menjadi lebih buruk."
"Tentu saja tidak akan lebih buruk. Aku punya penawaran yang lebih baik jika kau bersedia." Ujar Ron.
"Kau sedang tidak mengujiku, bukan?" Ada sedikit suara tawa pada pertanyaan Tuan Denim.
"Oh ayolah, aku juga sudah tua. Aku tidak akan menjerumuskanmu." Komentar Ron.
"Baiklah, cepat katakan. Aku akan mempertimbangkannya untuk menerima atau menolak tawaranmu." Sahut Tuan Denim.
Ada suara langkah kaki perlahan-lahan, kemudian berhenti. Sepertinya itu suara langkah kaki Ron. Lalu, suara obrolan mereka tiba-tiba menjadi lebih pelan dari sebelumnya. Aku bahkan tak bisa mendengar apa pun kecuali suara samar-samar yang terdengar lebih seperti bisikan. Karena penasaran, aku membuka pintu kamar Kim perlahan-lahan agar tidak terdengar oleh siapa pun. Aku melepas sandalku dan berjalan melewati lorong lumayan panjang sebelum akhirnya aku berhenti di ujung lorong yang menghubungkan ruangan kamar Kim dan Eby dengan ruangan tengah yang besar, di mana Tuan Denim dan Ron sedang bercakap-cakap. Aku memberanikan diri untuk mengintip, dan sesuatu yang ganjil terjadi, sesuatu yang tak pernah terpikirkan olehku sebelumnya. Aku nyaris berteriak ketika melihat ada dua Tuan Denim di ruangan tengah. RON ADALAH TUAN DENIM. Bagaimana mungkin? Aku memekik dalam hati. Mengapa semua yang berada di rumah ini tiba-tiba memiliki kembaran? Ya Ampuun! Ini benar-benar gila. Aku menampar-nampar kedua pipiku untuk memastikan bahwa aku masih dalam keadaan sadar dan waras. Lalu akhirnya, aku yakin aku masih sadar dan berada dalam normal mode karena aku masih merasakan sakit ketika aku menampar diriku sendiri.
Aku kembali mengintip ke ruangan tengah. Tidak ada perbedaan apa pun antara Tuan Denim dan Ron secara fisik, kecuali...Ron terlihat sedikit lebih modis dengan kemeja putihnya, dasi merah dengan motif garis-garis hitam, jas hitamnya dan topi koboinya, serta sepatu pantofel yang mengilap. Penampilannya terlihat sempurna untuk ukuran pria seusianya. Well, ngomong-ngomong soal penampilan, aku bukan tipe orang yang begitu peduli terhadap penampilan kecuali untuk saat-saat tertentu, misalnya untuk menghadiri acara ulang tahun Kelly--sahabatku yang lumayan akrab ketika berada di SMP, lalu untuk menghadiri acara perpisahan SMP-ku tahun lalu. Selebihnya, aku hanya akan tampil biasa saja dan bersolek hanya jika aku berada dalam mood yang cukup baik untuk melakukannya. Aku lumayan moody.
Anyway, back to topic, Ron mencondongkan badannya ke arah Tuan Denim lalu berbicara pelan-pelan. "Ada kehidupan di luar sana yang lebih baik. Kau pasti menyukainya. Apa kau setuju?"
"Hey, apa kau becanda? Kau bahkan belum menyebutkan pekerjaan apa yang kau maksud?" Tuan Denim tertawa kesal.
"Kau bisa melakukan apa pun. Kau bisa menjadi bos, kau bisa mendapatkan uang maupun emas sebanyak yang kau suka. Aku bisa memberimu hak untuk melakukan apa pun. Kau akan lebih baik, sobat." Ron menatap si sopir dengan mata berkaca-kaca.
"Kau tidak menyuruhku untuk melakukan hal-hal yang menyalahi hukum, bukan? Aku tidak mau mengambil resiko terlalu besar. Aku sudah cukup menikmati pekerjaanku." Tuan Denim mengulangi pernyataan awalnya.
"Tentu saja tidak. Kita tidak akan pernah menyalahi hukum. Tidak ada hal yang berbahaya dengan tawaranku. Percayalah." Ron berkata dengan nada penuh semangat.
"Baiklah. Aku terima. Tapi aku akan keluar jika pekerjaan yang kau tawarkan tidak sesuai dengan harapanku." Ujar Tuan Denim.
"Pasti. Kau bisa keluar kapan pun jika kau mau." Jawab Ron. "Jadi, apa kau bersedia?" Aku melihat wajah Ron tersenyum menyeringai. Sesaat ekspresi wajahnya terlihat licik. Lalu seperti dihipnotis, aku melihat Tuan Denim berkata dengan suara pasrah, "Ya, aku bersedia." Wajah si sopir tiba-tiba terlihat kaku dan tak berdaya.
Lalu sesuatu yang mustahil tiba-tiba terjadi, Ron berjalan dengan santai dan menembus tubuh Tuan Denim. Sesaat setelah itu, Tuan Denim menghilang. Kini hanya Ron yang tersisa di ruang tengah dengan senyum kemenangan. Aku berdiri tanpa bergerak dari posisi awalku. Ludahku terasa kelu. Aku tidak yakin dengan apa yang ku lihat. Pria itu--pria bernama Ron dengan fisik Tuan Denim berdiri gagah di antara sofa-sofa lembut di tengah ruangan. Lalu, lehernya tiba-tiba menoleh ke arah lorong--di mana aku sekarang sedang bersembunyi di salah satu sisi temboknya. Aku semakin panik. Aku langsung bergegas ke arah kamar Kim. Aku tidak tahu apakah dia mengejarku atau tidak. Tapi aku bersyukur aku bisa sampai di kamar Kim lebih cepat. Aku membuka pintu kamarnya, lalu menutupnya rapat-rapat. Aku berusaha mengatur nafas dan mengendalikan diriku kembali. Lagi-lagi aku menempelkan mataku untuk melihat ke luar kamar. Pria itu tidak ada di lorong. Aku berharap dia tidak menyadari keberadaanku saat menguntit pembicaraannya dengan Tuan Denim.
Aku kembali ke atas ranjang, berbaring di sebelah Kim yang masih tertidur pulas, dan menarik selimutku untuk menutupi seluruh tubuhku. Nafasku masih agak tersengal-sengal. Aku tidak mengerti mengapa ada kejadian-kejadian seperti itu di rumah ini. Apa sebenarnya yang disembunyikan oleh rumah ini? Aku masih belum mengerti sama sekali. Tiba-tiba aku teringat dengan penggalan syair di buku catatan pribadi itu:
Aku menutup buku itu kembali, menguncinya, dan meletakkannya di bawah bantal. Aku menekan tombol off pada lampu tidur di sebelah kiriku yang sebelumnya sempat kunyalakan. Aku berfikir beberapa saat tentang makna syair-syair itu, lalu tiba-tiba menemukan jawaban tentang apa yang harusnya ku lakukan. Tetapi untuk bukit Capella dan kunci untuk menutup gerbang? Entahlah...aku belum memiliki klu apa pun mengenai bukit dan kunci itu.
Beberapa saat kemudian, aku kembali tertidur.
BERSAMBUNG.......
Saat mataku sudah mampu beradaptasi dengan kegelapan, aku beranjak dari atas kasur dan berusaha menemukan sepasang sandal kain berwarna coklat, yang biasa kukenakan saat berada di kamar. Aku melangkah menuju pintu kamar, lalu mengintip dari lubang kecil yang ada di permukaan pintu kayu itu. Aku menempelkan mataku sebelah kanan, berusaha melihat ke luar. Tidak ada apa pun di sana, kecuali lorong gelap dengan pencahayaan redup. Di depan kamar Kim ada kamar Eby, pintunya terkunci rapat dan tidak terdengar suara apa pun dari dalam. Di sebelah kamar Kim ada kamar Bibi Elly yang sejak tadi sore aku tak mendengar suara apa pun dari kamarnya, dan aku bahkan tak bertemu dengannya sejak terakhir kali dia keluar dari gudang untuk menemukan perkakas mobil Tuan Denim kemudian mengobrol sebentar denganku di ruang tengah, lalu menghilang entah ke mana. Untuk saat ini, aku hanya bisa mengira-ngira kalau dia sedang tertidur lelap di dalam kamar.
Aku tidak mendengar suara derik pintu lagi, kecuali suara tawa renyah dan santai yang seolah-olah berasal dari percakapan dua orang sahabat dekat yang sudah lama tak berjumpa. Aku merapatkan telinga kiriku pada pintu dan mendengarkan baik-baik apa yang suara-suara itu bicarakan. Aku sedikit terkejut ketika salah satu suara itu terdengar sangat tidak asing. Itu adalah suara si Pak sopir yang super rajin kalau diminta untuk mengantar kami ke mana pun alias Tuan Denim.
"Kau sudah lama bekerja di sini?" Suara yang lain bertanya.
"Kami baru saja pindah ke sini sekitar seminggu yang lalu. Tapi aku sudah bekerja dengan pemilik rumah ini selama lebih dari delapan tahun." Aku mendengar Tuan Denim menjawab dengan nada ramah.
"Ah--ku rasa kau sangat menikmati pekerjaanmu." Komentar suara asing itu.
"Yah, begitulah. Apalagi yang bisa ku lakukan. Kondisi perekonomian saat ini sangat susah untuk dilawan. Setidaknya aku masih bisa makan dengan tenang dan mengirim uang kepada keluargaku untuk memenuhi kebutuhan mereka." Jawab Tuan Denim.
"Keluarga?" Tanya suara asing itu lagi.
"Ya, aku pikir kau sudah tahu. Aku memiliki seorang isteri dan tiga orang anak di daerah Baron. Dua orang anakku sudah mulai menginjak remaja dan mulai susah dikendalikan. Kau pasti mengerti bagaimana rasanya memiliki anak-anak yang sedang dalam masa peralihan." Tuan Denim tiba-tiba tertawa, lalu diikuti dengan tawa lelaki asing itu yang sampai sekarang aku belum tahu itu siapa. Mereka tertawa seolah-olah saling mengerti persoalan yang sedang mereka hadapi masing-masing.
"Apa mereka mulai memberontak dan membuatmu kewalahan?" Laki-laki itu kembali bertanya.
"Ah, tidak juga. Mereka cukup patuh untuk ukuran remaja." Sahut Tuan Denim.
"Kau pasti bersyukur akan hal itu."
"Tentu saja. Tapi si Jim berandalan itu, terkadang dia membuatku kesal, tapi itu juga membuatku teringat dengan masa laluku. Kau tahu...." Tuan Denim tiba-tiba terdiam, lalu sesaat kemudian melanjutkan kalimatnya. "Dia adalah tipe pemberontak."
Lelaki asing itu sontak tertawa terbahak-bahak. "Yah, tentu saja, aku tak meragukan itu. Tipe pemberontak adalah tipe Denim muda saat era Amstrong berkelana ke bulan. Itu kau, sobat. Jangan menyalahkan anak itu untuk sesuatu yang kau sendiri tahu dari mana asalnya."
"Haha--kau benar, Ron." Tuan Denim menjawab dengan nada pasrah.
Jadi, nama pria itu adalah Ron? Aku bertanya-tanya dalam hati. Sesaat kemudian aku tak mendengar suara apa pun lagi, kecuali semilir angin yang berhembus lembut di udara. Aku merasakan aliran udara dingin merayap dari celah pintu bagian bawah dan mengitari kedua kakiku. Aku menggigil karena kedinginan. Aku baru saja hendak kembali ke atas ranjang untuk membungkus diriku dengan selimut ketika suara pria bernama Ron itu kembali terdengar. "Apa kau tidak punya rencana lain untuk mengubah kehidupanmu?"
"Em--rasanya aku sudah terlalu tua untuk memiliki mimpi yang terlalu banyak. Aku sudah bukan Denim Muda lagi, kawan." Si sopir itu tertawa. "Tentu saja siapa pun ingin memiliki kehidupan yang lebih baik. Tapi aku sudah tidak cukup kuat untuk mengambil resiko. Aku cukup menikmati pekerjaanku yang sekarang, jadi aku tidak ingin membuatnya menjadi lebih buruk."
"Tentu saja tidak akan lebih buruk. Aku punya penawaran yang lebih baik jika kau bersedia." Ujar Ron.
"Kau sedang tidak mengujiku, bukan?" Ada sedikit suara tawa pada pertanyaan Tuan Denim.
"Oh ayolah, aku juga sudah tua. Aku tidak akan menjerumuskanmu." Komentar Ron.
"Baiklah, cepat katakan. Aku akan mempertimbangkannya untuk menerima atau menolak tawaranmu." Sahut Tuan Denim.
Image source: gettyimage.com (Ilustration for 'Dea is going out from Kim's room)
Ada suara langkah kaki perlahan-lahan, kemudian berhenti. Sepertinya itu suara langkah kaki Ron. Lalu, suara obrolan mereka tiba-tiba menjadi lebih pelan dari sebelumnya. Aku bahkan tak bisa mendengar apa pun kecuali suara samar-samar yang terdengar lebih seperti bisikan. Karena penasaran, aku membuka pintu kamar Kim perlahan-lahan agar tidak terdengar oleh siapa pun. Aku melepas sandalku dan berjalan melewati lorong lumayan panjang sebelum akhirnya aku berhenti di ujung lorong yang menghubungkan ruangan kamar Kim dan Eby dengan ruangan tengah yang besar, di mana Tuan Denim dan Ron sedang bercakap-cakap. Aku memberanikan diri untuk mengintip, dan sesuatu yang ganjil terjadi, sesuatu yang tak pernah terpikirkan olehku sebelumnya. Aku nyaris berteriak ketika melihat ada dua Tuan Denim di ruangan tengah. RON ADALAH TUAN DENIM. Bagaimana mungkin? Aku memekik dalam hati. Mengapa semua yang berada di rumah ini tiba-tiba memiliki kembaran? Ya Ampuun! Ini benar-benar gila. Aku menampar-nampar kedua pipiku untuk memastikan bahwa aku masih dalam keadaan sadar dan waras. Lalu akhirnya, aku yakin aku masih sadar dan berada dalam normal mode karena aku masih merasakan sakit ketika aku menampar diriku sendiri.
Aku kembali mengintip ke ruangan tengah. Tidak ada perbedaan apa pun antara Tuan Denim dan Ron secara fisik, kecuali...Ron terlihat sedikit lebih modis dengan kemeja putihnya, dasi merah dengan motif garis-garis hitam, jas hitamnya dan topi koboinya, serta sepatu pantofel yang mengilap. Penampilannya terlihat sempurna untuk ukuran pria seusianya. Well, ngomong-ngomong soal penampilan, aku bukan tipe orang yang begitu peduli terhadap penampilan kecuali untuk saat-saat tertentu, misalnya untuk menghadiri acara ulang tahun Kelly--sahabatku yang lumayan akrab ketika berada di SMP, lalu untuk menghadiri acara perpisahan SMP-ku tahun lalu. Selebihnya, aku hanya akan tampil biasa saja dan bersolek hanya jika aku berada dalam mood yang cukup baik untuk melakukannya. Aku lumayan moody.
Anyway, back to topic, Ron mencondongkan badannya ke arah Tuan Denim lalu berbicara pelan-pelan. "Ada kehidupan di luar sana yang lebih baik. Kau pasti menyukainya. Apa kau setuju?"
"Hey, apa kau becanda? Kau bahkan belum menyebutkan pekerjaan apa yang kau maksud?" Tuan Denim tertawa kesal.
"Kau bisa melakukan apa pun. Kau bisa menjadi bos, kau bisa mendapatkan uang maupun emas sebanyak yang kau suka. Aku bisa memberimu hak untuk melakukan apa pun. Kau akan lebih baik, sobat." Ron menatap si sopir dengan mata berkaca-kaca.
"Kau tidak menyuruhku untuk melakukan hal-hal yang menyalahi hukum, bukan? Aku tidak mau mengambil resiko terlalu besar. Aku sudah cukup menikmati pekerjaanku." Tuan Denim mengulangi pernyataan awalnya.
"Tentu saja tidak. Kita tidak akan pernah menyalahi hukum. Tidak ada hal yang berbahaya dengan tawaranku. Percayalah." Ron berkata dengan nada penuh semangat.
"Baiklah. Aku terima. Tapi aku akan keluar jika pekerjaan yang kau tawarkan tidak sesuai dengan harapanku." Ujar Tuan Denim.
"Pasti. Kau bisa keluar kapan pun jika kau mau." Jawab Ron. "Jadi, apa kau bersedia?" Aku melihat wajah Ron tersenyum menyeringai. Sesaat ekspresi wajahnya terlihat licik. Lalu seperti dihipnotis, aku melihat Tuan Denim berkata dengan suara pasrah, "Ya, aku bersedia." Wajah si sopir tiba-tiba terlihat kaku dan tak berdaya.
Lalu sesuatu yang mustahil tiba-tiba terjadi, Ron berjalan dengan santai dan menembus tubuh Tuan Denim. Sesaat setelah itu, Tuan Denim menghilang. Kini hanya Ron yang tersisa di ruang tengah dengan senyum kemenangan. Aku berdiri tanpa bergerak dari posisi awalku. Ludahku terasa kelu. Aku tidak yakin dengan apa yang ku lihat. Pria itu--pria bernama Ron dengan fisik Tuan Denim berdiri gagah di antara sofa-sofa lembut di tengah ruangan. Lalu, lehernya tiba-tiba menoleh ke arah lorong--di mana aku sekarang sedang bersembunyi di salah satu sisi temboknya. Aku semakin panik. Aku langsung bergegas ke arah kamar Kim. Aku tidak tahu apakah dia mengejarku atau tidak. Tapi aku bersyukur aku bisa sampai di kamar Kim lebih cepat. Aku membuka pintu kamarnya, lalu menutupnya rapat-rapat. Aku berusaha mengatur nafas dan mengendalikan diriku kembali. Lagi-lagi aku menempelkan mataku untuk melihat ke luar kamar. Pria itu tidak ada di lorong. Aku berharap dia tidak menyadari keberadaanku saat menguntit pembicaraannya dengan Tuan Denim.
Image source: google.com (Ilustration for 'A key to close the gate')
Aku kembali ke atas ranjang, berbaring di sebelah Kim yang masih tertidur pulas, dan menarik selimutku untuk menutupi seluruh tubuhku. Nafasku masih agak tersengal-sengal. Aku tidak mengerti mengapa ada kejadian-kejadian seperti itu di rumah ini. Apa sebenarnya yang disembunyikan oleh rumah ini? Aku masih belum mengerti sama sekali. Tiba-tiba aku teringat dengan penggalan syair di buku catatan pribadi itu:
Saat gerbang itu menganga, bayangan akan menjadi nyata
Jangan sesekali mencoba melindungi bayanganmu, atau bahkan mendekat
Dan jangan bersikap manis pada cerminmu
Apa mungkin bayangan yang dimaksud di dalam syair ini adalah seseorang yang berwujud sama dengan kita? Bagaimana Tuan Denim bisa terlihat akrab dengan Ron? Apa bayangan itu memiliki keahlian untuk membuat kita akrab pada mereka? Hah, aku merasa ini benar-benar mirip dengan doppelganger. Ya Tuhan, apa yang akan terjadi jika semua orang di rumah ini memiliki Doppelganger? Dan yang lebih parah lagi, bagaimana jika posisi semua orang di rumah ini digantikan oleh Doppelganger? Bukankah itu gila? Aku semakin panik dengan bayangan-bayangan yang merajalela di benakku. Apa yang harus ku lakukan jika aku sendiri bertemu dengan diriku yang lain? Bagaimana jika aku tidak bisa menolak tawarannya? Bagaimana jika dia berhasil mempengaruhiku lalu aku bersikap manis padanya? Dan bagaimana aku memberitahu semua orang di rumah ini bahwa ada sesuatu yang tidak beres di dalam bangunan ini dan bahwa Tuan Denim sudah tidak ada dan telah digantikan oleh Ron? Arrghh--aku benar-benar pusing.
Aku menyalakan lampu tidur di sebelah kiriku dan membuka kembali catatan pribadi yang sebelumnya aku selipkan di bawah bantal. Aku membuka lembaran berikutnya, dan menemukan beberapa coretan pada kertasnya. Ada beberapa gambar aneh yang aku sendiri tidak tahu itu gambar apa saja. Lalu, di lembar berikutnya, kembali aku menemukan sebuah syair, yang bunyinya seperti ini:
Ini adalah permainan antara keberadaan dan ketiadaan
Kau menang jika bisa mengurung ketiadaan
Mengembalikannya pada hakikat awalnya bahwa ketiadaan itu "benar-benar tidak ada"
Ini adalah cerita tentang keyakinan
Jangan membentuk hubungan apa pun dengan mereka
Bersikaplah seolah-olah kau tidak melihat mereka, kau tidak merasakan mereka, dan kau tidak peduli dengan mereka
Karena begitulah adanya makna dari ketiadaan
Jika itu sulit, carilah riak pantai yang bergemuruh
Lalu temukan tempat berteduh
Tempat yang damai tanpa mentari siang
Sebuah pohon di bukit Capella
Sebuah kunci untuk menutup gerbangnya
Sebelum lingkaran itu kembali sempurna kemudian berputar
Beberapa saat kemudian, aku kembali tertidur.
BERSAMBUNG.......
Komentar
Posting Komentar