CERBUNG : PINTU SENJA

Pintu Senja 
(4th Sequel)

written by:
Helena Nasution


Seberkas cahaya matahari pagi itu merambat melalui kaca-kaca jendela besar dan menembusnya hingga memantul ke sana-ke mari membentuk lintasan cahaya yang rumit dan tak beraturan. Beberapa berkasnya membentuk tautan konstruksi sehingga tampak lebih kuat dan jelas dibanding berkas cahaya yang lainnya. Kondisi ini disebut sebagai Interferensi konstruktif di dalam fisika. Dan secara pribadi, fenomena ini merupakan salah satu fenomena favoritku ketika membahas tentang alam. Sebuah keajaiban yang tak pernah gagal membuatku terkagum-kagum. Membahas alam selalu saja menarik bagiku, sama halnya dengan membaca cerita misteri atau bermain games dengan genre adventure. Darahku rasanya berdesir seketika dan memacu adrenalinku untuk mencari tahu lebih lanjut bagaimana kisahnya, atau apa yang akan terjadi setelah suatu fenomena alam terjadi. Alam menyimpan sejuta rahasia. Menurutku, itulah yang membuat alam tampak lebih menarik.

Aku melirik jam beker di sampingku. Pukul 05.00. Aku mendesah. Rasanya terlalu enggan bahkan untuk menggerakkan jari-jariku. Kain tebal yang membungkus tubuhku saat ini terasa semakin nyaman berkali-kali lipat dari biasanya. Aku baru saja terbangun hampir pukul tiga tadi pagi, kemudian tidur kembali pada pukul setengah empat setelah menguntit percakapan Tuan Denim dengan seseorang bernama Ron. Wait...Apa? Ron? Kain tebal bernama selimut yang sedari tadi membungkus tubuhku tiba-tiba kehilangan kekuatannya untuk membuatku melanjutkan mimpiku. Aku langsung tersentak dan buru-buru bergerak dari atas tempat tidur. Aku kembali melirik ke atas ranjang ketika menemukan Kim sudah tidak ada di sana. Suara air yang mengucur dari shower di kamar mandi secara otomatis menjawab pertanyaanku bahwa Kim sudah bangun dan sekarang sedang berada di kamar mandi. Tumben! Pikirku. Bukan masalah apa-apa, ini adalah hari minggu, dan sudah menjadi tradisi bahwa hari libur sepertinya memiliki aturan baru tidak terutulis terkait dengan kegiatan mandi. Memangnya ada acara apa hari ini? Pikirku lagi. Well, sepertinya itu tidak terlalu penting. Aku memiliki masalah lain yang lebih urgent dibanding apa pun saat ini. Apa yang terjadi dengan Tuan Denim tadi malam? Sepertinya otakku belum sepenuhnya bisa mengerti, dan akal sehatku berulang kali menolak untuk mencari alasan yang lebih logis mengenai kejadian tadi malam.

Pukul 08.00. Aku, Kim, dan Eby berkumpul di meja makan sembari menyantap beberapa potong roti tawar yang sudah diolesi jam sesuai dengan selera masing-masing serta ditaburi bulir-bulir coklat yang renyah. Beberapa botol selai dengan bermacam-macam rasa berjejer di atas meja lengkap dengan cream coklat, keju, dan tiga gelas susu rasa late. Di tengah-tengah sarapan, Tuan Denim yang sekarang telah berubah menjadi Ron masuk ke ruang makan dan menyapa kami dengan wajah ceria. Dan tentu saja, tidak ada yang tahu soal ini, dan aku sama sekali tidak punya ide bagaimana memberitahu mereka soal pria bernama Ron ini. "Pagi, anak-anak! Hari yang cerah, bukan?" Senyumnya mengembang. Kedua ujung-ujung bibirnya tertarik ke samping, membuat area pipinya terlihat lebih sempit dan menonjol untuk sejenak. Senyum itu masih belum hilang ketika dia kembali berkata. "Ku harap kalian tidak lupa dengan rencana kita hari ini."

"Tentu saja." Ujar Eby semangat. Dan aku baru sadar bahwa Kim maupun Eby sudah mengenakan pakaian santai dengan kain yang terasa ringan dan sejuk. Keduanya tampak hendak pergi ke pantai. Aku melirik Ron sekilas dan berusaha agar mataku tak perlu berpapasan dengan matanya. Ron juga sudah mengenakan pakaian pantai dengan celana pendek berwarna abu-abu dan kemeja lengan pendek bermotif bunga-bunga berwarna putih dan kuning, yang aku yakin salah satunya adalah bunga Anggrek. Sejenak aku teringat dengan isi catatan itu :
Ini adalah permainan antara keberadaan dan ketiadaan
Kau menang jika bisa mengurung ketiadaan
Mengembalikannya pada hakikat awalnya bahwa ketiadaan itu "benar-benar tidak ada"

Bagaimana mungkin aku menganggap Ron tidak ada ketika sekarang pria ini benar-benar ada di hadapan kami, tersenyum manis, dan berbicara dengan ramah seolah-olah tidak ada kejadian apa pun tadi pagi. Hah, ini sinting! Pikirku. Apa aku harus berpura-pura buta dan tuli? Tapi....kenapa begitu tiba-tiba? Menjadi buta dan tuli tiba-tiba tanpa ada penyebabnya, aku rasa malah akan membuat pria paruh baya itu menjadi curiga. Itu bukan ide yang bagus. Menyumbat telingaku dengan earphone dan menjaga mataku agar tidak melihat ke arahnya sepertinya jauh lebih bagus. Jika dia berbicara padaku dan aku tidak menyahut, aku akan punya alasan bahwa kedua telingaku disumbat dan tidak bisa mendengarnya. Perfect! Pikirku. Aku hanya perlu menjaga jarak agar dia tidak mendekatiku.



Pukul 09.00.
Sebuah mobil Jeep berwarna hitam dengan beberapa warna merah di beberapa titik, melesat keluar dari gerbang besi berwarna biru tua pekat dengan seorang pengemudi bernama Ron dan tiga orang remaja menumpang di dalamnya. Dua orang remaja kembar yang begitu menikmati perjalanan, dan seorang remaja yang entah mengapa sekarang menjadi begitu paranoid dan entah mengapa tiba-tiba tertarik dengan pantai padahal sebelumnya punya segudang rencana untuk membongkar rahasia para doppleganger...dan itu adalah aku. Gadis SMA tahun pertama--bernama Dhea. Kami melewati jalan panjang tanpa belokan yang luar biasa panjang, dengan beragam pepohonan hijau menjulang tinggi hingga tampak nyaris menyentuh lapisan langit paling bawah--Stratosfer, begitu ilmu geologi menyebutnya. Lapisan berikutnya adalah trofosfer, mesosfer, lalu eksosfer. Oke, kita tidak akan membahas geologi di sini, karena berikutnya, aku tiba-tiba terperanjat dengan perubahan tampilan layar alam di sekelilingku. Sebuah lapangan luas di sisi kiri kanan jalan, dengan beragam bunga dan tanaman lain yang aku sama sekali tidak tahu berasal dari spesies apa. Mungkin guru biologiku akan dengan senang hati menjelaskan dari genus mana tumbuhan-tumbuhan itu berasal. Tapi jujur saja, aku sama sekali tidak tertarik, fisika atau astronomi lebih menarik bagiku.
Sekelilingku rasanya telah berubah menjadi sebuah lukisan maharaksasa di mana langit biru tampak bersinar di awang-awang, matahari memancarkan sinar jingga yang tampak anggun melintasi udara, lalu membelah dedaunan hijau yang melambai-lambai akibat sang bayu. Beberapa undakan batu tampak di kejauhan dengan warna oranye pekat dan mengilat, membentuk seperti bangunan candi kuno yang terlantar. Selanjutnya, aku melihat beberapa bangunan aneh yang sudah hancur di hampir seluruh bagian, hanya pilar-pilarnya yang tinggi yang masih bertahan untuk menopang bangunan itu agar tetap mampu berdiri.

"Kita sampai!!!" Sebuah suara membuyarkan lamunanku. Itu suara si doppleganger bernama Ron. Sontak mataku melihat ke arahnya, dan pria itu membalas tatapanku dengan ekspresi ganjil yang tak bisa kuartikan. Aku masih memasang earphone di kedua telingaku, namun sama sekali tak ada suara yang keluar darinya, karena aku memang hanya menyampirkan benda itu di telingaku tanpa berniat untuk mendengarkan lagu atau apa pun, agar aku bisa tetap awas mengamati gerak-gerik pria munafik itu. Aku mengalihkan pandanganku, dan kembali terkejut ketika Kim dan Eby sudah tidak ada di dalam Jeep. Mereka ke mana? Pikirku tak karuan. Aku mulai panik ketika tak menemukan tanda-tanda keberadaan mereka di sekitar Jeep. Mataku menjelajah ke kiri dan ke kanan, ke depan dan ke belakang. TIDAK ADA APA PUN, DAN TIDAK ADA SIAPA PUN!!! Kecuali hamparan pantai yang tampak berwarna keemasan, dan lautan biru berwarna pekat yang seolah-olah telah digelar oleh tangan Tuhan ke suatu tempat yang tak terbatas. Beberapa tumbuhan bakau menancap pada permukaan pasirnya.

"Kau tampak gelisah." Komentar pria itu--si Ron brengsek. Apa yang sudah dia lakukan dengan kedua saudara kembarku? Jantungku bergemuruh. Bagaimana mungkin aku tak menyadari bahwa Kim dan Eby sudah tidak ada di dalam Jeep? Bagaimana mungkin mereka tiba-tiba menghilang tanpa aku sadari? Benar-benar bodoh!! Aku mengutuki diriku sendiri. "Dari pada memikirkan hal-hal yang tak perlu, bukankah sebaiknya kita menikmati anugerah Tuhan yang indah ini?" Dia berjalan beberapa meter menjauhi Jeep, berdiri menghadap pantai sembari memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana pendeknya yang berwarna abu-abu.

Aku masih duduk di dalam Jeep--di kursi belakang, dengan kap terbuka, hingga pandanganku sama sekali tak terhalang apa pun. Aku mengendap-endap menuju kursi kemudi, menyalakan mobilnya, namun tak bisa. Kuncinya sama sekali tak berfungsi! Sial! Aku kembali mengumpat.

"Bukan saatnya untuk melarikan diri, Nona manis." Ujar Ron, sembari memutar tubuhnya hingga menghadapku. Aku kembali panik. Nafasku terasa sesak. Darahku mengalir lebih cepat. Aku bahkan bisa merasakan tubuhku bergetar, dan irama jantungku pontang-panting seolah tanpa jeda. Benar-benar kondisi yang tak menguntungkan! Aku tidak bisa berfikir, ketika nafasku terasa mencekik tenggorokanku sendiri. Ya Tuhan! Mungkin memang sudah saatnya aku menghadapMU! Pikiranku melayang-layang bahwa semuanya akan berakhir sekarang. Pria itu semakin mendekat. Dia mungkin akan mencekikku, lalu melenyapkanku seperti Tuan Denim atau seperti Kim atau Eby atau Bibi Elly. Entahlah.
Kemudian...Langkahnya terhenti sekitar satu setengah meter dariku. Dia masih mengamatiku seperti seorang ilmuwan mengamati percobaannya di dalam laboratorium. Aku seolah adalah makhluk yang tampak begitu menarik untuk direaksikan dengan ramuan tertentu dan dijadikan bahan percobaan para ilmuwan sinting yang sudah kehilangan akal sehatnya. Dan aku, aku sama sekali tidak bisa bergerak dari posisiku sekarang, seolah mantera pembeku berhasil mengenaiku, dan menjadikanku seperti patung yang tak memiliki mobilitas. Aku memekik dalam hati, "Semua ini tak pernah ada! Makhluk itu tak pernah ada! Mereka tidak pernah terlahir ke dunia ini!"

"Bagaimana menurutmu?" Pria itu kembali bertanya. "Ada banyak dunia di luar sana yang belum bisa digapai manusia. Aku yakin kau pernah mendengar teori Multiuniverse, atau mungkin...." Dia berhenti sejenak. "Aku yakin kau lebih paham daripada yang terlihat. Orang-orang mungkin tidak akan percaya. Tapi aku, aku tahu bahwa kau tidak seperti yang terlihat. Aku yakin kau sudah membaca ke mana arah pembicaraan kita, atau apa yang akan terjadi selanjutnya. Ku rasa cukup menarik jika aku bisa bermain-main denganmu. Jadi, aku memutuskan untuk tidak mengakhirinya sekarang. Belum...mungkin nanti" Wajahnya menampilkan seringai yang menakutkan. Giginya tampak putih, bersih, dan rapi.
"Kau adalah ketiadaan! Kau tak pernah ada!" Aku berbicara tanpa mengalihkan pandanganku dari ratusan ombak yang bergulung-gulung di lautan. Aku tak bisa membayangkan jika tiba-tiba terjadi tsunami, dan ratusan atau bahkan ribuan ombak yang kulihat sekarang, segera berlari menghampiriku, membungkusku, dan menghanyutkan diriku hingga kehilangan nyawa.
Pria itu kembali menyeringai. "Menarik sekali." Katanya. "Bagaimana kalau kita memulai saja? Aku tidak tahu apakah kau sudah bisa menebak arti dari dunia tanpa bayangan atau arti dari sebuah Capella seperti yang tercantum dalam catatan harian itu."
Aku mendongak. Bagaimana dia bisa tahu? Pikirku.
"Apa aku sudah membuatmu terkejut? Waw, itu hebat sekali! Aku semakin percaya diri bahwa aku memang sangat ahli dalam membuat kejutan." Bibirnya kembali menampilkan senyum yang mengerikan. "Baiklah, sepertinya kata pengantarnya terlalu berbelit-belit. Bagaimana kalau kita langsung masuk ke intinya saja. Itu akan jauh lebih menarik, dan aku yakin kau pasti menyukainya." Selepas kalimat itu keluar dari mulutnya, sebuah angin puting beliung tiba-tiba menari di depanku, kemudian mendekat dan semakin mendekat hingga akhirnya aku masuk ke dalam perangkapnya. Angin itu membolak-balik badanku seperti tukang sate membolak-balik daging ayam di atas pemanggang. Benar-benar membuatku mual! Aku berteriak, untuk pertama kalinya dalam hidupku. Aku bukan melebih-lebihkan, karena jujur saja, aku sama sekali tidak bisa berteriak dengan suara melengking seperti kebanyakan gadis-gadis. Suaraku terdengar parau ketika berteriak dengan tune  paling rendah pada tangga nada. Sama sekali tidak ada seninya. Itu sebabnya aku memutuskan tak akan pernah berteriak dalam kondisi sengeri apa pun. Tapi kali ini, aku melakukannya, dan aku merasa tenggorokanku hampir keluar menembus leherku, dan perutku terasa seperti diisi gasing, benar-benar mual. Aku sempat melihat sekitarku. Pria itu masih dengan santai berdiri--menampilkan barisan giginya yang tampak besar-besar dan mengesankan. Andai saja saat ini aku punya palu, aku akan melemparkan palunya hingga mengenai gigi-gigi pria brengsek itu. Tapi belum sempat memutuskan apa yang harus aku lakukan, aku kembali dihanyutkan di dalam terowongan udara yang berpilin, aku meliuk-liuk seperti pada wahana roller coaster, aku melambung, meluncur, berputar ke atas dan ke bawah, dan perlahan-lahan...aku bisa merasakan diriku menghilang begitu saja. AKU BERADA DI DALAM KETIADAAN! SEBUAH DUNIA TANPA EKSISTENSI! DAN ENTAH KENAPA..... AKU SUDAH TIDAK BISA MERASAKAN APA PUN.


Beberapa saat kemudian...yang entah sudah berapa lama, aku kembali sadar. Aku berusaha membuka mataku yang terasa berat, dan tubuhku yang terasa remuk. Aku masih mengapung. Di mana ini? Tidak ada apa pun. Aku melihat cahaya bergerak di sampingku, namun tak menemukan bayanganku sendiri. Aku terlonjak seketika. AKU BERADA DI DUNIA TANPA BAYANGAN! Sebelumnya, aku berfikir bahwa tempat tanpa bayangan itu adalah ketika hari sudah menginjak malam atau di sebuah ruangan yang gelap. Tapi ternyata tidak seperti itu! Ini lebih ajaib dari yang ku duga. Sekarang aku benar-benar bisa melihat bagaimana teori Einstein benar-benar berlaku di sini, DENGAN SANGAT JELAS. Aku melongo seperti orang bodoh. Aku sedang tidak terhampar di sebuah tempat apa pun! AKU MASIH BERGERAK! Dan kau tahu, bergerak dengan kecepatan cahaya, tiga ratus ribu kilometer perdetik! ITU SEBABNYA AKU TAK MELIHAT BENDA APA PUN YANG MEMILIKI BAYANGAN DI SEKITARKU. DAN AKU SENDIRI TIDAK MEMILIKI BAYANGAN.

Belum sempat aku menikmati keajaiban ini, ketika waktu rasanya benar-benar menunjukkan keajaibannya, aku merasa kepalaku kembali terbentur. Aku merasa mual, pusing, dan kepalaku benar-benar sakit tak tertahankan. sekelilingku dipenuhi cahaya yang bergerak lalu lalang, kemudian, aku mulai kehilangan kendali atas diriku. Aku merasakan tubuhku meluruh seperti plastik yang terbakar api! AKU MENGHILANG! Dan untuk kedua kalinya, AKU BERADA DI DALAM KETIADAAN. AKU TAK PERNAH ADA!!!?

Bersambung...

CHAPTER BERIKUTNYA: CHAPTER 05


Komentar

Postingan populer dari blog ini

NOVEL TRANSLATION: CHAPTER LIST OF HER LADYSHIP'S SCHEME

HER LADYSHIP'S SCHEME

HER LADYSHIP'S SCHEME