CERBUNG : PINTU SENJA

PINTU SENJA
(5th Sequel)

written by
Helena Nasution

 Image Source : google.com

Aku menemukan diriku terbaring di atas hamparan pasir pantai berwarna keemasan. Butir-butir pasir nan kasar menempel pada kaki, tangan, dan wajahku. Seonggok bintang merah tampak mengapung di seberang lautan. Tampaknya sebentar lagi benda itu akan sepenuhnya menghilang. Aku yakin itu bukan matahari, karena warnanya lebih mirip bintang dari golongan raksasa merah, bukan berwarna kuning atau oranye seperti yang sering terlihat dari bumi. Tapi apa pun itu, sekarang yang terpenting adalah mencari tahu lokasi keberadaanku. Aku berusaha bangkit dan menggerakkan tubuhku, rasanya penat sekali. Aku bahkan tak bisa merasakan kakiku sendiri, yang semakin lama semakin terasa kebas.

Aku melongo ke kiri dan ke kanan. Aku tidak menemukan apa pun kecuali hamparan lautan yang kini mulai terlihat gelap, yang tampak hanya siluet beberapa pepohonan dari kejauhan dan bayangan rumah-rumah kayu kecil yang sengaja dibangun di pesisir pantai, dan tampaknya sengaja dibuat untuk disewakan kepada pengunjung pantai. Tidak ada hal yang istimewa, karena pada umumnya pantai hanya terdiri atas hamparan pasir, genangan air yang merebak hingga beratus-ratus kilometer, nyiur yang sengaja atau tidak sengaja ditanam di pantai, pohon-pohon bakau yang terlihat pasrah akan hidupnya, kursi-kursi panjang yang biasa dijadikan tempat berjemur, dan beberapa stand yang umumnya menjual minuman, pelampung, baju pantai, dan berbagai pernak-pernik lainnya bagi para penikmat air dan siraman mentari. Yah, HANYA ITU! Tidak lebih dan tidak kurang! Tapi meski begitu, jarang sekali kata bosan keluar dari mulut para pengunjungnya. Mungkin itulah yang dinamakan kejaiban alam. Sesuatu yang tercipta untuk dinikmati selamanya, selama manusia hidup tentunya! Toh dari dulu laut sudah ada, jadi bukan hal yang baru untuk diceritakan.

Well, terlepas dari pantai dan lautnya yang menawan, aku menyadari sesuatu di sebelah kiriku, tepatnya di sebelah Timur pulau di mana aku berbaring sekarang. Sebuah tembok raksasa yang membentang panjang, sehingga tampak bagai mengelilingi pulau itu. Bagiku itu lebih mirip tembok Cina. Dan, tepat di sebelahku, sebuah pintu kayu tua menempel pada tembok, yang tiba-tiba membuatku merasa de javu. Rasa penasaran akan pintu itu seketika membuatku lupa akan rasa nyeri yang sedari tadi menggerogoti tulang dan otot-ototku. Yah, kau tau, rasa penasaran yang besar memang bisa mempengaruhi kondisi mental dan psikologi seseorang, tidak heran jika ada pepatah yang mengatakan bahwa 'Rasa Ingin tahu yang tinggi bisa membunuh kucing'. Sebuah pepatah klasik menurutku. Tapi tetap saja, pepatah itu mencerminkan keadaan yang sebenarnya. Sebuah pernyataan yang tak perlu diperdebatkan  kebenarannya. 

Lupa akan rasa sakit yang merayapi tubuhku, aku sudah bangkit dan berdiri di hadapan pintu itu. Tidak butuh waktu lama bagiku untuk menyadari apa yang berdiri di hadapanku, karena saat itu juga aku langsung tahu bahwa pintu itu--pintu yang sekarang berdiri kokoh menghadapku, dan menempel kuat pada permukaan tembok, merupakan pintu yang sama dengan pintu lemari tua yang berada di sebelah ruangan kamar tidurku di lantai dua--di rumah baru kami--di Kota Amethys--kota tetangga Boron, tempat tinggal Tuan Denim. Dan saat itu juga, aku tidak perlu menjelaskan lebih lanjut lagi bahwa aku cukup terkejut dengan fakta yang baru saja kutemukan. Secara intuitif, aku langsung menggedor-gedor pintu itu, mengguncang kenopnya seperti orang kesurupan, lalu mengetuk pintunya berkali-kali, berharap akan ada orang yang membuka pintu itu dari luar. Bodoh Sekali! Pikirku. Memangnya siapa yang akan membuka pintunya? Mama atau Papa? Hah, mereka kan tidak ada di rumah. Lalu siapa? Bibi Elly, Eby dan Kim, atau Tuan Denim? Aku bahkan tidak tahu di mana mereka sekarang. Dengan perasaan putus asa, aku menghempaskan diri ke atas pasir, duduk tertunduk seperti orang depresi, lalu menselonjorkan kaki-kakiku di atas pasir. Apa aku benar-benar sudah tidak punya harapan lagi? Aku menanyakan pertanyaan itu pada diriku sendiri.

Sepertinya Tuhan tidak ingin aku terlalu menikmati perasaan depresi itu, karena setelah itu, sebuah suara langsung membuyarkan keputus asaanku. Ada dua orang yang datang menghampiriku. Salah satunya adalah pria gempal yang kemungkinan berusia tiga puluh tahun atau lebih. Bibirnya terlihat kecil sekali dibandingkan area wajahnya yang terlihat luas dan datar. Sama sekali tidak sinkron. Hidungnya mancung dengan mata besar seperti bola bekel, dahinya lebar dan mengkerut, lalu rambutnya tipis dan disisir rapi ke belakang. Aku tidak bisa menebak warna rambutnya karena suasana begitu gelap, hanya ada berkas sinar bulan yang menjadi satu-satunya sumber cahaya. Pria itu mengenakan baju pantai, dan berjalan dengan santai ke arahku sembari mengobrol dengan temannya yang terlihat lebih muda. Mereka semakin mendekat. Aku bisa melihat pria yang satunya adalah seorang pemuda yang tampaknya usianya sama denganku, atau mungkin lebih tua dua atau tiga tahun dariku. Entahlah. Pemuda itu juga mengenakan baju pantai yang sama dengan pria gempal tadi. Tubuhnya tinggi, Kaki jenjang, wajah tirus dengan rahang keras, bibir tipis, hidung mancung, alis mata tebal, dan rambutnya terlihat rapi dengan gaya Mohawk yang terlihat pas di kepalanya. Dan secara keseluruhan, dia terlihat...manis, yah harus kuakui. Bagaimana pun juga, sepertinya dia tak perlu usaha keras untuk membuat para gadis di sekitarnya memohon-mohon padanya untuk menjadi kekasihnya. Well, wow...Sejak kapan? Pikirku. Sejak kapan aku mulai perhatian dengan hal-hal seperti itu? Aku tiba-tiba terbatuk-batuk dan merasa mual dengan diriku sendiri. Apa pulau ini memiliki kekuatan untuk merubah kepribadian seseorang? Aku tercengang dengan pemikiranku yang terakhir, dia terlihat manis? Apa-apaan ini? Arghh bodoh! Ini tidak mungkin terjadi! Aku bahkan tak mengenalnya! Aku mulai mengutuki diriku sendiri. Tapi aku tak bisa bohong bahwa sekarang jantungku berdebar dengan laju yang tak biasa. Aku tidak tahu apa yang terjadi, karena kejadian ini belum pernah menimpaku sebelumnya.

Pria yang lebih tua berbicara padaku, namun aku sama sekali tidak mengerti apa yang dia bicarakan. Rasanya aku belum pernah mendengar bahasa seperti itu sebelumnya. Tentu saja, karena mereka sekarang berbicara dengan bahasa yang sebelumnya hanya bisa ku dengar dari belakang dinding kamarku atau dari dalam lemari tua aneh yang berada di ruangan seberang--di sebelah kamarku. Namun sekarang, aku mendengarnya secara langsung, dengan kedua telingaku sendiri! "Well, aku sama sekali tidak mengerti apa yang kalian bicarakan." Aku mengangkat bahu. Aku tahu wajahku sekarang terlihat bodoh karena kebingungan. Dan itu memalukan. Kedua pria itu saling tukar pandang, seolah kebingunganku adalah penyakit menular yang bisa menghinggapi siapa pun, karena kini keduanya juga terlihat bingung. 
"Bumi?" Pria yang lebih muda bertanya.
"Ah-yah. Bu-bumi." Aku menjawab gelagapan. Dan saat itu juga aku sadar bahwa aku sudah tidak berada di dalam bumi. Damn! Pikirku panik. Lalu, tempat apa ini? Aku tahu bahwa aku adalah penggemar fanatik dunia fantasi, penggemar fanatik hal-hal yang berbau luar angkasa, dan penggemar fanatik untuk kategori hal-hal mistis. Oke, cukup aneh! Tapi siapa yang peduli? Semua orang punya minat masing-masing. Tak ada yang bisa menyalahkan hobi seseorang. Tapi apa ini? Aku tak pernah membayangkan bahwa aku sekarang berada di salah satu dunia fantasi yang selama ini hanya ada dalam khayalanku? Tunggu, ini sama sekali tidak ada sebelumnya. Meskipun aku memiliki dunia fantasi tersendiri, tapi dunia ini, dunia tempat aku sekarang berdiri, sama sekali tidak pernah terfikirkan olehku sebelumnya. Ini benar-benar gila.
"Oh ya, tentu saja. Aku tahu beberapa orang yang berasal dari sana." Komentar pemuda itu. Bahasanya tiba-tiba berubah menjadi mode earth language dengan level fluence alias fasih dan lancar, tanpa terbata-bata. Luar biasa! Pikirku. "Kalau begitu, perkenalkan, namaku Rigel--Rigel Achernus." Dia menyodorkan tangannya sembari tersenyum manis padaku. Dan seketika itu juga, aku merasa meleleh. Jantungku berderu, dan pipiku terasa panas. Bodoh, bodoh, bodoh! Aku kembali mengumpat dalam hati dan mengutuki diriku sendiri. Dea, kendalikan dirimu, please! Pekikku pada diri sendiri.

Aku menerima uluran tangan itu, dan aku merasakan genggaman tangannya cukup erat. "Namaku Adhella Rain Hermawan. Tapi panggil saja Dea." Ucapku datar--tanpa ekspresi. Aku ingin menanyakan mengapa namanya terdengar aneh dan tak biasa. Menurut buku yang ku baca, Rigel adalah nama salah satu bintang dalam rasi Orion, dan merupakan golongan super raksasa biru. Jaraknya sekitar 1400 tahun cahaya dari Bumi. Lalu, Achernus? Kemungkinan itu berasal dari kata Achernar yang termasuk dalam golongan bintang super raksasa putih, yang berjarak 69 tahun cahaya dari Bumi. Tapi entah mengapa aku mengurungkan niatku untuk menanyakannya. Aku tidak mau terlihat tertarik begitu saja dengan orang yang baru saja ku kenal. Gadis macam apa yang langsung menunjukan minatnya terhadap seorang pria yang baru saja dia temui hanya karena pria itu terlihat manis atau menawan? Yang benar saja! Pikirku. 
"Tanganmu terasa panas. Apa kau sakit?" Tanyanya.
"Ah, tidak. " Aku berusaha mencari alasan. Aku sendiri tidak tahu mengapa seluruh tubuhku rasanya tiba-tiba panas. "Mungkin karena aku sedang dalam masa adaptasi. Kau tau, kan, Bumi akhir-akhir ini sedikit panas." Jawabku asal. 
"Ah, ya. Kau benar." Ujarnya.
"Dan Tuan ini...?" Aku menoleh pada pria gempal yang sedari tadi berdiri di samping Rigel. 
"Oh, perkenalkan. Nama saya Dallas Procyon. Panggil saja Tn. Pro. Aku lebih suka dengan nama panggilan itu." Ujarnya dengan menyunggingkan senyum tipis, sehingga bibirnya yang kecil kini terlihat sedikit lebih lebar.
"Ah, senang bertemu dengan Anda, Tuan." Ujarku, berusaha terlihat sesopan mungkin. Dan pria itu kembali membalasnya dengan sebuah senyuman tipis.

 Image Source : google.com

"Ngomong-ngomong, mengapa tidak ada orang yang terlihat di sini selain kita?" Aku memberanikan diri untuk bertanya. Sekarang kami semua tengah duduk di atas undakan pasir sembari mengililingi api unggun yang baru saja dinyalakan oleh Tn. Pro.
"Ini adalah jam malam. Waktunya tidur atau berkumpul bersama keluarga. Sudah menjadi tradisi bagi kami untuk menikmati waktu di dalam rumah. Lagi pula, ini adalah pantai. Jarang sekali ada orang yang keluyuran di Pantai malam-malam." Rigel melirikku seolah-olah tengah menyindirku secara halus. Well, aku kan tidak keluyuran. Aku sendiri tidak tahu mengapa aku berada di sini. Pikirku. "Jika kau mau, aku bisa mengajakmu ke pusat kota, jika ingin melihat hiruk pikuk yang membosankan dan makhluk-makhluk yang berseliweran." Tambahnya lagi. Aku tidak tahu mengapa dia lebih memilih menggunakan kata makhluk dibandingkan kata manusia. Apa mereka ini bukan manusia? Pertanyaan terakhir ini membuatku sedikit bergidik.
"Em--apa aku boleh bertanya lagi?" Tanyaku ragu-ragu. Aku melihat ekspresi keduanya sama sekali tidak berubah dari semenjak mereka memperkenalkan diri. Ekspresi yang ramah dan menenangkan.
"Tanyakan apa pun yang ingin kau tanyakan." Ujar Rigel.
"Aku mendengarmu tadi menggunakan bahasa yang menurutku...aneh. Aku tidak bermaksud mencela. Maksudku, aku merasa bahasa kalian unik. Lalu, tiba-tiba kalian menggunakan bahasa kami, bahasa Bumi? Apa semua orang di sini mampu menguasai banyak bahasa?" Tanyaku dengan perasaan antusias. 
Rigel seketika tertawa, untuk pertama kalinya. Entah mengapa aku merasa tenang mendengar tawa itu. Rasanya seperti berbincang dengan sahabat lama. Yah, meskipun usiaku baru saja menginjak 15 tahun 7 bulan 20 hari. Toh sahabat kecil juga termasuk sahabat lama. "Tidak semuanya. Hanya beberapa orang dari kami." Jawabnya. Aku bisa menangkap perasaan bangga pada kalimatnya, dan merasakan bahwa dia begitu senang bisa menguasai banyak bahasa. 
"Dia adalah Putra The Head di sini. Dan dia diharapkan mampu melakukan dan menguasai apa pun." Komentar Tn. Pro. 
"Well, kau tidak perlu menjelaskan itu." Sanggah Rigel. "Aku tidak ingin dia tiba-tiba memujiku secara berlebihan." Ujarnya sembari tertawa ringan. Aku memutar kedua bola mataku dengan perasaan kesal, menurutku dialah yang terlalu berlebihan. Melihat ekspresiku yang tampaknya kesal, dia malah melanjutkan tawanya.
"The Head?" Tanyaku.
"Yah, itu adalah gelar yang diberikan untuk Kepala Planet. Berbeda dengan Bumi, jumlah kami di sini tidak banyak. Jadi, planet ini hanya dibagi menjadi beberapa distrik, yang kesemuanya dipimpin oleh The Head of Planet. " Tn. Pro kembali melanjutkan penjelasannya.
"Jadi begitu." Aku mengangguk-angguk. Dan seketika itu juga aku merasa agak segan dengan mereka. Rasanya strataku di Bumi tidak akan sanggup menyamai mereka. Itu artinya, jika di Bumi, sekarang ini aku sedang berbincang-bincang dengan seorang anak Presiden, bahkan lebih. Penguasa Planet bahkan jauh lebih tinggi dibanding dengan penguasa negara. Sama sekali tidak bisa dibandingkan. Jadi, bisa disimpulkan bahwa dia lebih dari sekedar anak Presiden, tapi Putra daripada The Head. 
"Em--maaf jika saya pernah bertindak tidak sopan sebelumnya. Saya tidak tahu kalau saya sedang berbicara dengan orang-orang penting seperti kalian." Ujarku.
Rigel tiba-tiba kembali tertawa. "Kau lihat itu, Tn. Pro? Dia mulai merendahkan diri dan menyanjung kita? Itu sebabnya aku tidak ingin kau menjelaskannya." Ucapnya masih dengan sedikit tertawa. Tn. Pro kemudian ikut tertawa. Dan aku sendiri hanya bengong karena tidak menemukan humor apa pun dalam kalimatku. "Baiklah, aku tidak ingin kau bersikap canggung seperti itu. Aku ingin kau bersikap biasa saja layaknya seorang teman." Lagi-lagi dia tersenyum. Aku bisa merasakan kalimat yang dia ucapkan maupun senyuman yang sekarang tersungging di bibirnya memiliki nilai tulus yang tidak dibuat-buat. Dan itu membuatku merasa lega.
"Baiklah." Ujarku pada akhirnya--berusaha tersenyum sopan.
"Ngomong-ngomong, kau kuat juga setelah berhari-hari mengapung di lautan." Ujar Rigel tiba-tiba.
"Apa? Berhari-hari?" Tanyaku dengan perasaan tak percaya. Rasanya itu tidak mungkin. Apa si Ron sialan itu benar-benar sengaja ingin membuatku mati? Aku kembali teringat dengan kejadian yang menimpa Tn. Denim. Dan saat ini juga rasanya aku ingin menangis karena telah kehilangan kedua saudara kembarku. Ya Tuhan, di mana mereka? Aku merasakan pipiku bertambah panas karena rasa takut dan panik yang tiba-tiba menggerogotiku.
"Yah benar, berhari-hari. Sudah tidak salah lagi, dari kondisimu yang kami temukan tiga jam yang lalu, kamu sudah sekitar tiga hari mengapung. Tapi kami menemukan pelampung membungkus seluruh tubuhmu saat masih mengapung. Ada sedikit celah di bagian kepala agar udara bisa masuk ke dalam pakaian pelampungmu. Ini kasus yang tidak biasa." Timpal Tn.Pro dengan dahi mengernyit. "Kami sudah kehilangan harapan bahwa kau bisa selamat. Tn. Rigel sudah berusaha semampunya untuk membantu, termasuk membantumu untuk bernafas." 
"Apa?" Kali ini suaraku terdengar lebih tinggi dari biasanya. Ada perasaan marah, bercampur panik, tidak percaya, dan rasanya semua jenis perasaan negatif bercampur jadi satu di dalam diriku. Aku tidak tahu harus mengatakan apa. Aku melirik Rigel dan mendapati dirinya juga sama terkejutnya dengan diriku.
"Itu bagian yang tidak seharusnya diceritakan." Ujar Rigel dengan nada marah bercampur malu kepada Tn. Pro. Pria bermulut kecil itu hanya menanggapinya dengan ekspresi datar dan tenang seolah-olah itu bukan sesuatu yang perlu dipermasalahkan. "Ehem...ini tidak seperti yang kau bayangkan. Aku hanya berusaha membantu. Kau pasti mengerti, kan? Pertolongan pertama?" Rigel melihatku dengan wajah yang sama paniknya denganku."Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku sudah mencoba berbagai cara. Itu cara terakhir yang bisa ku lakukan. Dan ku pikir itu juga tidak berhasil. Lalu, aku meminta Tn. Pro untuk menemaniku mengambil alat pemacu jantung. Dan setelah kembali ke sini, aku tidak tahu kalau kau ternyata sudah sadar. Kalau kau tidak percaya, ini alatnya." Dia mengeluarkan sebuah alat kecil yang lebih mirip Straples kertas dibanding alat pemacu jantung seperti yang sering ku lihat di rumah sakit-rumah sakit di Bumi. 
"Itu...alat pemacu jantung?" Tanyaku tak yakin.
"Ya, kau bisa mencobanya kalau mau." Dia menyodorkan benda itu. 
"Tidak perlu." Ucapku. Kali ini rasa panik dan rasa takut yang menggerogotiku berhasil mengalahkan rasa penasaranku. Ini kejadian langka. Kali ini aku benar-benar tidak tahu apa yang ku rasakan. Semua perasaan tercampur aduk begitu saja.
"Aku hanya membantumu bernafas." Ujarnya pelan.
"Aku tahu itu. Tidak usah diingatkan lagi." Bentakku.
"Oke, baiklah." Ujarnya, juga dengan intonasi membentak.
"Hey, kalian tidak perlu mempermasalahkannya." Komentar pria gempal itu.
"Itu masalah besar bagiku." Ujarku masih dengan perasaan marah.
"Aku tahu. Tapi seharusnya kau mengerti bahwa itu tidak lebih dari sekedar bantuan. Tidak ada maksud apa-apa." Tn. Pro mencoba menjernihkan masalah.
"Benar." Timpal Rigel.
Aku menelan ludah. Tidak tahu harus mengatakan apa lagi. "Oke, baiklah, lupakan saja semuanya." Kataku pada akhirnya.


 Image Source : gettyimage.com


"Baik kalau begitu, sebaiknya kau ikut dengan kami. Kau harus mengganti pakaianmu. Tapi jangan bertindak sembarangan. Akan sangat berbahaya jika ada penduduk kami yang menemukanmu, terutama para pegawai pemerintahan." Jelas Tn. Pro. "Kau tidak akan bisa membayangkan bahaya apa yang akan terjadi denganmu." Katanya lagi.
Mendengar kalimat itu aku mendesah begitu saja. Lagi-lagi bahaya. Pikirku. Entah sejak kapan hidupku mulai dipenuhi dengan bahaya. Rasanya rumah baru kami memang pembawa bahaya. BAHAYA BESAR lebih tepatnya, atau jika bisa kukatakan, ini sudah termasuk malapetaka. Aku mengomel dalam hati. Rasanya aku ingin terbangun dari semua ini, dan menemukan diriku di atas kasurku yang nyaman di rumah lama kami, bukan di rumah baru yang penuh dengan peristiwa-peristiwa aneh yang tak masuk akal. Untuk pertama kalinya, aku merasakan rasa lelah yang luar biasa dalam hidupku. Aku ingin mengakhiri semuanya.
"Ayo, mobil kami ada di sebelah sana." Ujar Tn. Pro sembari menunjuk ke arah Selatan. Mereka berdua berjalan di depanku. Dan aku berjalan sendirian di belakang mereka dengan jarak sekitar satu setengah meter. "Ayo, jalan lebih cepat." Seru Pria bermata bola bekel itu. Rigel menoleh dan menatapku dari depan. Dia tidak bicara apa-apa. Hanya diam. Beberapa saat yang lalu dia terlihat ramah dan banyak bicara. Tapi sekarang, dia tak bicara apa pun. Apa itu mungkin karena dia masih merasa bersalah, atau malah merasa marah padaku? Entahlah. Akhirnya, aku mempercepat jalanku, dan kini berdiri di sebelah kanan Tn. Pro. Rigel berjalan di sebelah kirinya. Kami bertiga kini berjalan bersisian.

BERSAMBUNG...

CHAPTER BERIKUTNYA: CHAPTER 06



Komentar

Postingan populer dari blog ini

NOVEL TRANSLATION: CHAPTER LIST OF HER LADYSHIP'S SCHEME

HER LADYSHIP'S SCHEME

HER LADYSHIP'S SCHEME