CERBUNG: PINTU SENJA
Pintu Senja
(6th Sequel)
Written by
Helena Nasution
Image source: google.com
Rigel
membawaku ke sebuah koridor panjang dengan penerangan seadanya. Cahaya lampu
bergerak perlahan-lahan dengan bentuk sirkular dari arah mercusuar di pantai sebelah Utara. Tn. Pro memimpin
perjalanan kami dalam jarak sekitar satu meter di depan. Sudah 10 menit sejak
kami tiba di sebuah bangunan yang sampai sekarang aku masih belum tahu ini
tempat apa. Aku tertidur beberapa saat yang lalu di dalam mobil yang membawa
kami bertiga dari pantai tempat aku terdampar sebelumnya, lalu tiba-tiba sebuah
tangan mengguncang tubuhku dengan sedikit keras, yang kemudian aku menyadari
bahwa itu adalah tangan Rigel yang tengah berusaha membangunkanku. Aku sangat
berharap ketika aku terbangun dari tidurku, aku akan menemukan kasurku yang
empuk dan ruangan kamarku yang beraroma mint
dan sedikit machiatta. Aku
menyukai kedua aroma itu. Tapi sepertinya itu semua tak kan terjadi, karena
sekarang aku menemukan diriku terlantar di sebuah gedung yang tak ku ketahui
sama sekali, bersama dengan dua pria asing yang baru saja kutemui di pantai,
dan keduanya mengaku telah berusaha menyelamatkanku saat mengambang di tengah
samudera antah berantah. Dan aku pasti terlihat seperti gadis bodoh sekarang
karena mempercayainya begitu saja, ditambah lagi sekarang aku berkeliaran
dengan mereka di sebuah gedung tua yang sepi dan pengap. Gadis macam apa? Pikirku,
mengingat reputasiku yang terkenal pendiam, namun untuk kalangan tertentu
terkenal petakilan. Entah mengapa,
aku tiba-tiba teringat dengan Melly cs—ketua geng borjuis saat aku SMP—yang
merasa dirinya adalah gadis paling sempurna di dunia ini. “Dasar, gadis sok polos.” Aku yakin dia akan melontarkan komentar
pedas itu padaku jika saja dia mengetahui bahwa sekarang aku sedang keluyuran
di sebuah bangunan sepi yang gelap saat malam hari, bersama dengan dua pria
asing yang baru saja ku kenal. Menyedihkan!
Gerutuku.
Kami
bertiga masih berjalan beriring-iringan seperti pasukan pawai yang tersesat di
tengah hutan belantara. Aku melirik sekilas ke seberang koridor, dan menemukan
tanah lapang yang superluas dengan didominasi kawanan rumput cantik yang
memesona. Terdapat air mancur raksasa di tengah-tengah lapangan dengan hiasan
sebuah patung berwujud perempuan muda yang mencengkeram panah tanpa rasa ragu—Sang Archer, Pikirku. Dan untuk sejenak,
aku merasakan kekaguman terpancar dari diriku untuk sosok patung perempuan itu.
Masih dari arah koridor, aku bisa melihat beberapa kuda yang diikat pada
tiang-tiang besi nan panjang. Tidak ada seorang pun di tengah lapangan, kecuali
dua orang pria berbadan kekar yang bersiaga di depan sebuah pintu kayu raksasa
pada bangunan di sebelah selatan kami. Aku tidak bisa melihat wajah kedua pria
penjaga itu, tapi postur mereka yang kekar dan bugar tampaknya cukup membuat
orang-orang di sekitar untuk tidak membuat masalah dengan mereka. Beberapa saat
kemudian, lagi-lagi Rigel menyentakkan lenganku ketika kami berbelok ke arah
sebuah terowongan yang cukup sempit dan pengap. Ini kesekian kalinya dia
membuatku tersentak ketika otot-otot tangannya menarik lenganku dengan cukup
kuat. Aku masih sedikit ngantuk, sehingga aku berjalan dengan gerakan lunglai
ala pemabuk.
Selama
lima menit lebih kami berjalan di dalam terowongan nan gelap dan lembab.
Kemudian, aku kembali tersentak ketika tangan Rigel menarikku ke sebelah kanan,
menuruni sebuah tangga kayu yang cukup curam. Ada bunyi decitan beberapa kali
ketika kaki-kaki kami menginjak anak-anak tangganya yang terbuat dari kayu.
“Hati-hati. Tolong hilangkan rasa kantukmu untuk sesaat.” Bentak Rigel.
Intonasi suaranya yang agak tinggi membuat level
kesadaranku meningkat beberapa persen. Aku membelalakkan mata, berusaha untuk
bangun sepenuhnya. Namun itu hanya bisa bertahan beberapa saat, karena rasa
kantukku masih cukup kuat untuk bergelayut kembali di pelupuk mata. Aku hampir
terjatuh di beberapa anak tangga yang terakhir ketika Rigel akhirnya
menangkisku dari bawah saat aku tersungkur ke depan, kemudian secara tidak
sengaja memeluknya. “Hah..menyusahkan saja.” Desah pemuda itu. “Ayo bangunlah!
Kita akan sampai sebentar lagi. Tolong kuasai dirimu.” Katanya dengan nada
kesal sembari mengguncang bahuku dan menepuk-nepuk pipiku perlahan-lahan,
berusaha keras membangunkanku. Dan harus ku akui, usahanya benar-benar sukses
membangunkanku, karena ketika aku tersadar dan membuka mata, lalu menemukan
kedua lenganku melingkar pada perut hingga ke punggungnya, aku langsung
tersentak dan membuat level kesadaranku
meningkat seratus persen. Saat itu juga aku terbangun secara penuh dan dunia
bawah sadarku menghilang tanpa jejak.
“Ma—maaf.”
Gumamku, dengan perasaan panik bercampur malu. Aku bisa merasakan detak
jantungku sekarang berpacu dengan kecepatan yang tak biasa. Aku juga merasakan
pipiku memanas beberapa derajat. Bodoh sekali! Aku mengutuki diriku dalam
hati. Bagaimana bisa aku memeluknya? Aku
mengumpat dalam hati dan menyumpahi diriku sendiri karena tak bisa
mengendalikan diri.
Rigel
menatapku sembari tertawa kesal. “Sekarang, kau pasti sudah bisa berjalan dengan
tegak tanpa harus dibantu, iya kan.” Komentarnya.
“Te—tentu.”
Sahutku dengan terbata-bata.
Tn.Pro
kemudian yang sedari tadi diam dan fokus berjalan di depan kami, kini beranjak
mendekati kami. “Kalian baru saja bertemu beberapa jam yang lalu, dan entah
sudah berapa kali kalian bertengkar. Aku tidak tahu kalau kalian mudah sekali
akrab.” Komentarnya. Kedua matanya yang bulat seperti bola bekel bergerak-gerak
lincah mengawasi kami berdua. Bola matanya bergerak bergantian antara aku dan
Rigel. Dan aku merasa sedikit bersalah, karena kalau dipikir-pikir, sengaja
atau tidak, akulah yang menyebabkan semua keributan sejak di pantai hingga
sekarang.
“Ma—maaf.”
Kataku pelan.
“Tidak
apa-apa. Itu hal yang biasa terjadi di antara remaja seusia kalian.” Pria
gempal itu menatapku dengan senyuman jahil, lalu tatapannya beralih ke arah
Rigel yang disambut dengan wajah kesal oleh pemuda itu. “Ayo, kita hanya perlu
menaiki satu tangga lagi untuk tiba di atas.”
Aku
melihat ke arah pria gempal itu kemudian mengangguk-angguk. Tn. Pro kemudian
mengeluarkan sebuah benda kecil berbentuk bulat dan bisa menyala. Aku tidak tahu
itu benda apa, tapi yang pasti ruangan kami sekarang terlihat jauh lebih terang
dari sebelumnya. Sekarang aku bisa melihat dengan sangat jelas bahwa ruangan
kami berdiri saat ini tampak seperti ruangan kosong yang sudah lama
ditinggalkan pemiliknya. Tidak ada apa pun di dalamnya kecuali udara dingin
yang menggeliat di udara dan mengambil alih ruangan menjadi sarang yang nyaman
untuk ditinggali para unsur-unsur kimia yang bermassa jenis super ringan itu.
Kami
kembali ke barisan semula dengan Tn. Pro sebagai pemimpin barisan, Rigel berada
di tengah, dan aku berada pada urutan paling belakang. Ada tangga lagi! Sebuah
tangga kayu yang mengarah ke atas—menuju sebuah pintu kayu yang tampak tua dan
usang. Kami menaikinya dengan hati-hati sebelum akhirnya pintu tua itu terbuka
dan memancarkan cahaya terang benderang dari dalam.Pria gempal itu memasukinya,
kemudian mempersilakan aku dan Rigel untuk mengikutinya ke dalam. Pintu tua itu
kembali ditutup. Dan kami bertiga kembali berjalan beriring-iringan seperti arak-arakan
semut mungil di dinding rumah. Lagi-lagi ada pintu! Kali ini bukan pintu kayu
tua, tetapi sebuah pintu yang terbuat dari semen yang bisa digeser dan dibuka
hanya dengan sensor sidik jari pada sebuah perkakas berbentuk screen LCD—menempel pada dinding. “Hanya
aku dan Tn. Achernus yang bisa membukanya.” Pria gempal itu mengumumkan sembari
menoleh pada Rigel kemudian tatapannya beralih padaku.
Pintu
bergerak perlahan ke samping, menimbulkan suara berat seperti dengkuran hewan
buas yang tinggal di goa. “Silakan masuk, Tuan.” Ucap Tn.Pro kepada Rigel
dengan gerakan membungkuk ala pengawal kerajaan. “Ah—untuk tamu baru kita,
silakan mengikuti Tn.Achernus.” Tambahnya, sembari menoleh padaku. Suaranya
terdengar lebih ramah dari sebelumnya. Aku mengikuti Rigel memasuki ruangan
baru dengan sedikit kikuk. Saat itu juga aku terperangah dengan apa yang
kutemukan. Sebuah ruangan super mewah dengan desain glamor yang menawan,
ditambah dengan nuansa klasik yang menenangkan. Ada banyak guci raksasa yang
terbuat dari kramik dan perak, beberapa patung raksasa dari batu obsidian yang sama sekali tidak terlihat
familiar bagiku—Itu bukan
patung-patung dewa atau dewi yunani kuno yang sering kulihat dalam film-film hollywood, tidak juga
patung-patung para dewi mesir kuno. Di sisi lain ruangan terdapat beberapa
lemari raksasa berisi buku-buku tebal yang menjulang tinggi. Ada juga
lemari-lemari kaca berisi pernak-pernik unik yang terbuat dari berbagai jenis
batuan. Semua tampak berkilauan seolah terbuat dari berlian murni. “Itu berlian
murni.” Ujar Rigel tiba-tiba. Entah mengapa dia bisa menjawab dugaanku bahkan
sebelum aku sempat menanyakannya.
Image source: google.com
“Skala
Mohs 10. Luar biasa.” Komentarku. “Kau tak perlu takut harta karunmu itu akan
tergores.” Aku berjalan menelusuri beberapa lemari kaca di sisi kiriku. “Aku
tak menyangka bahwa Gneiss bisa seindah
ini. Gabungan antara warna hijau feldspar dan kuarsa yang cantik.” Aku
mengamati sebuah kalung di dalam kaca bening yang aku yakin sekali terbuat dari
ganesa atau gneiss. “Lalu di sebelahnya, ada cincin skoria,...” Aku membuka kaca penutup lemarinya yang dapat digeser,
meletakkan tanganku di atas permukaan bebatuan itu sembari mengamati dan
merasakan teksturnya. “gelas-gelas cantik dari diorit dan diparit, patung
peri dari konglomerat, lalu prajurit
perang dari travertin dan serpin.” Mataku berkaca-kaca memandangi
benda-benda antik yang mengagumkan itu.
“Bagaimana
kau tahu?” Alisnya mengernyit. Rigel mengamatiku dengan tatapan menyelidik.
“Aku
bisa mengetahui hal-hal seperti itu. Percayalah.” Kataku tersenyum jahil. Aku
merasa bangga karena bisa menebak dengan tepat. Tentu saja, kau tahu, aku gadis yang tergila-gila dengan ilmu bebatuan,
alam, perbintangan, filosofi, sastra, dan....hal-hal gaib? Em—bukan, aku lebih
suka menyebutnya bidang emotional dan spritualisme. Aku cukup peka dengan
perubahan emosi yang terjadi di sekitarku meskipun seringkali aku terlihat
tidak peduli, Ucapku dalam hati, dan merasa kebiasaanku di rumah membaca
buku-buku seperti ilmu falak atau terrestial ternyata tidak sia-sia untuk
dipublikasikan di dalam dunia asing ini.
“Baiklah.
Terserah kau saja.” Katanya sembari tertawa ringan. “Tapi tadi itu luar biasa.”
Pujinya.
“Aku
akan keluar sebentar untuk memeriksa keadaan.” Kata Tn.Pro di sela-sela
pembicaraan. “Ngomong-ngomong, pengetahuan tamu kita ternyata luar biasa. Aku
menghargainya.” Tambahnya. Sekarang aku baru sadar bahwa rambut Tn.Pro berwarna
putih dan rambut Rigel berwarna coklat keemasan dengan mata hijau yang teduh
dan menenangkan. Sementara itu, warna pupil Tn.Pro terlihat lebih gelap dengan
warna coklat kekuning-kuningan seperti mata kucing di rumahku—di Amethys.
“Terima
kasih.” Ujarku seraya tersenyum.
“Oke,
baiklah. Jaga dirimu dan tolong rahasiakan identitas tamu baru kita.” Ujar
Rigel dengan ekspresi wajah yang serius.
“Pasti.”
Ujar pria gempal itu sembari berlalu di balik pintu semen yang dapat bergeser—yang
beberapa saat yang lalu baru saja kami lewati untuk masuk ke dalam ruangan berkilauan
ini. Kini hanya ada aku dan Rigel yang tersisa di dalam ruangan mewah yang
menggiurkan ini.
Image source:google.com
“Hey,
kau bilang namamu Dhea?” Rigel berjalan ke arahku, lalu duduk di atas sebuah
sofa beludru nan empuk berwarna coklat bercampur hitam dan putih.
“Ya.”
“Apa
kau mengambil jurusan geologi, civil,
architect, atau semacamnya?” Tanyanya.
“Jangan
bercanda. Apa aku terlihat setua itu? Aku belum masuk universitas. Aku baru
saja memasuki tahun pertamaku di SMA.” Aku mengomel.
Dia
tertawa. “ Aku tak bermaksud seperti itu. Aku hanya merasa kagum dengan
presentasi singkatmu tadi.” Mata hijaunya mengamatiku, menanti jawaban dengan
sungguh-sungguh sembari tersenyum lebar bak malaikat yang bisa meluluhkan hati gadis
mana pun. Sial! Pikirku. Dia
benar-benar mengunci pandanganku sekarang, dan aku benci itu.
“Aku
mengambil kelas sains dan bahasa di SMA-ku saat ini.” Kataku singkat.
“Oh
itu bagus. Dan tadi itu...sesuatu yang luar biasa untuk anak SMA. Kau bisa
mengenali kristal-kristal itu dengan cepat hanya dengan menyentuh dan
mengamatinya.” Komentarnya.
Aku
merasa tersipu dan tidak tahu harus berkata apa. Pujiannya hampir saja
membuatku meleleh. Dan mata hijaunya yang hangat dan meneduhkan hampir saja
membuat hatiku meluruh perlahan-lahan seperti es di gurun sahara yang mencair
dan meluruh oleh teriknya mentari. Dan aku hampir berteriak-teriak dan
melompat-lompat karena terlalu gembira. Ah,
lebay, deh. Jangan terlalu berlebihan, pliis. Aku membentak diriku sendiri
dalam hati. “Oh, iya, mengapa identitasku dirahasiakan? Kalian tidak berniat
melakukan human traviking, bukan?”
Tanyaku. Aku sedikit terkejut mendengar suaraku yang terdengar santai dan
lantang sementara hatiku bergidik ketakutan.
Pemuda
itu tertawa. “Apa kau takut?” Tanyanya dengan senyuman mengejek.
“Entahlah,
ku rasa berdua denganmu di dalam ruangan ini jauh lebih menakutkan.” Sahutku
datar.
“Kau
ternyata lucu sekali.” Lagi-lagi dia tertawa. “Take it easy, girl. I won’t do something bad on you.”
“Syukur
deh, aku lega mendengarnya.” Komentarku. “Tapi...jika suatu saat ada yang tahu.
Apa yang harus kulakukan? Apa aku akan dieksekusi hingga mati atau dijatuhkan
ke dalam jurang?” Tanyaku serius.
“Emm—bisa
saja.” Ucapnya datar—tanpa ekspresi, seolah tak peduli.
“Hey,
jangan bercanda.” Bentakku. Rasa ketakutan kembali menggerogoti hati dan pikiranku.
“Dengar,
di planet ini apa pun bisa terjadi. Oleh karena itu, untuk sementara,
tinggallah di dalam ruangan bawah tanah—di bawah kamarku. Aku belum bisa
memikirkan solusi apa pun saat ini. Aku tidak bermaksud menakutimu, tapi hukum
di sini bisa sangat kejam jika terjadi hal-hal yang dianggap dapat mengganggu
stabilitas negara. Jadi, tolong jangan melakukan kekacauan. Aku akan berusaha
membantumu.” Ujar Rigel—wajahnya masih terlihat serius seperti sebelumnya.
“Tapi
kau bilang, kau mengenal beberapa orang yang juga berasal dari Bumi? Apa yang
terjadi pada mereka saat ini? Apa mereka masih hidup?” Tanyaku. Rasa
penasaranku sama sekali tidak dibuat-buat.
“Mereka
semua dijadikan budak. Sebagian besar sudah dihukum mati seperti yang kau
katakan.” Ucapnya.
Dijadikan budak? Planet macam apa
yang masih memiliki sistem perbudakan? Seharusnya dunia ini sudah terbebas dari
ancaman perbudakan. Ini bukan era jahillyah atau era kegelapan atau era sebelum
Abraham Lincoln lagi. Lalu dihukum mati? Kejam sekali. Rasanya di Bumi tidak
pernah dilakukan pembunuhan alien. Lagi pula kami warga bumi tidak begitu
percaya dengan keberadaan alien. Aku
menggerutu dalam hati. Em—meskipun saat
ini aku harus mempercayainya.
“Tapi...ada
satu yang masih bertahan. Dia seorang hacker
dari Bumi. Dia ahli dalam mengoperasikan
komputer, melacak, menyusup, mencuri data, menciptakan sistem pertahanan yang
rumit untuk pemerintahan, serta memelihara stabilitas lingkungan planet. Kami
membutuhkannya. Oleh karena itu, dia masih bertahan hingga sekarang. Dia bahkan
diberi kedudukan yang mulia di pemerintahan kami. Kami adil, bukan?” Rigel
terlihat bangga dengan sistem planet mereka.
“Apanya
yang adil? Kalian hanya memanfaatkannya.” Kataku dengan nada marah.
“Hey,
apa kau lupa, girl, di dimensi dunia
mana pun akan seperti itu. Ku rasa Bumi juga seperti itu. Bahkan kudengar
pemerintahnya menyembunyikan uang rakyat untuk kepentingan pribadi, apa itu
yang kau sebut keadilan? Setidaknya di duniaku semua orang mendapatkan balasan
sesuai porsinya masing-masing.” Ujarnya, tak mau kalah.
Aku
terdiam. Tak tahu harus menjawab apa. Toh
yang dia katakan memang ada benarnya. Meskipun yang mereka lakukan tetap
saja terasa kejam dan tidak manusiawi. Memperbudak
atau membunuh orang hanya karena orang tersebut tidak memiliki keahlian atau pengetahuan
yang berguna bagi negara? Itu benar-benar kejam.
“Jadi,
kau...keahlian apa yang kamu miliki?” Rigel membuyarkan pikiran-pikiran yang
berkeliaran di kepalaku.
“Aku....emm”
Aku berpikir sejenak. Aku tidak tahu keahlian apa yang kumiliki. Aku terlalu
lemah jika mengandalkan fisik. Tapi tidak
selemah itu. Aku masih bisa setidaknya mengeroyok satu orang untuk membela
diri. Pikirku.
“Oleh
karena itu kau harus kusembunyikan di ruang bawah tanahku. Aku masih memiliki
cukup perasaan. Aku tidak sekejam yang kau pikirkan. Tidak semua penduduk di
duniaku melakukan hal-hal kejam seperti tadi yang kuceritakan. Tapi jika kau
membuat kekacauan, aku tidak bisa jamin kau bisa selamat.” Katanya.
Lidahku
terasa kelu. Aku menimbang-nimbang kalimat apa yang harus kuucapkan. “Memangnya
aku harus bisa apa agar bisa selamat di planetmu ini?” Akhirnya pertanyaan itu
terlontar.
“Emm—apa
kau menguasai teknik beladiri dengan baik?” Tanyanya.
“Aku
pernah belajar taekwondo selama 1,5
tahun saat di SMP. Tapi aku tidak yakin aku bisa menjadi superhero di duniamu ini.” Jawabku. “Aku bahkan tidak ingat jurus
apa saja yang sudah kupelajari.” Kepalaku manggut-manggut mengingat betapa aku
sudah melupakan semuanya, tidak ada satu teknik tendangan atau pukulan apa pun
yang tersisa di kepalaku, kecuali gerakan scretching.
Dasar payah! Aku menyesali diri sendiri.
“Bagaimana
dengan hacking?”
Aku
menelan ludah. Apalagi itu. Pikirku. “Apa
kau mau menghinaku? Aku memang bisa mengoperasikan komputer, browsing, melakukan instalasi ini dan
itu, dan sesekali memperbaiki laptopku
sendiri. Tapi itu hanya kerusakan kecil, bukan sesuatu yang patut dibanggakan
jika berhasil memperbaikinya.” Ujarku pelan.
Dia
tersenyum lebar dan hendak tertawa tetapi membatalkannya. “Tidak masalah. Tak
perlu bersedih. Bagaimana dengan memasak, menjahit, atau desain?”
Aku
hampir terbatuk-batuk dan tidak tahu bagaimana cara menjawabnya. Apa dia bilang? Memasak? Menjahit? Desain? Apa
dia akan menjadikanku pembantu di rumahnya? Lagi-lagi aku kembali teringat
dengan sistem perbudakan yang dia sebutkan sebelumnya. “Ehem—aku bisa memasak,
tapi kau tidak bisa menyebutku dengan sebutan chef yang handal. Well, menjahit? Harus ku akui, aku hanya bisa
menjahit sarung bantalku yang robek atau bajuku yang robek di bagian ketiak.”
Ujarku mengingat beberapa minggu yang lalu aku baru saja menjahit bagian ketiak
bajuku yang robek hanya karena aku merentangkan kedua tanganku ke atas dengan
cukup kuat. Aku tidak yakin aku punya kekuatan untuk membuat pakaian menjadi robek.
Itu sebuah kebetulan, percayalah! “Kemudian, desain? Desain apa maksudmu? Kalau
hanya menggambar dengan alat tulis, atau menggunakan corel draw, aku bisa melakukannya. Tapi hanya sebatas bisa, aku tidak yakin aku bisa disebut profesional.” Tukasku.
Rigel
akhirnya tak dapat menahan tawanya. “Aku tidak tahu bahwa pakaian seorang gadis
bisa robek di bagian ketiak.”
“Itu
bisa saja terjadi.” Bentakku.
“Sepertinya
kau punya bakat melucu.” Komentarnya.
“Hey
jangan menghinaku seperti itu. Kebanyakan orang mengatakan aku tak punya selera
humor yang bagus.” Jawabku, mengingat betapa image diriku di lingkungan sekolah maupun rumah lebih terkenal
dengan gaya yang serius dan tak punya selera humor. “Hanya sedikit kalangan
yang memiliki pendapat yang sama denganmu.” Kataku.
“Kalau
begitu itu kesalahan mereka.” Dia mengedipkan matanya sebelah kiri. “Ayolah,
kau mungkin hanya terlalu introvert. Tunggu
sampai mereka benar-benar mengenalmu.” Ucapnya masih dengan sedikit tertawa. “Aku
yakin image yang kau sebutkan tadi
akan hilang dalam sekejap.”
“Entahlah,
aku tidak begitu peduli. Memiliki orang yang menghargai dan mempercayaiku
sepenuhnya meski hanya satu orang jauh lebih berharga dibandingkan dengan image atau pendapat orang lain tentang
diriku.” Sahutku datar.
“Haha...kau
sekarang menjadi melankolis. Kau
yakin tidak memiliki kepribadian ganda?” Tanyanya sembari tertawa.
“Sialan.”
Kataku kesal.
“Lupakan,
aku hanya bercanda. Ngomong-ngomong, em—jadi...keahlian apa yang kau miliki?”
Akhirnya pembicaraan kembali pada topik yang seharusnya.
“Aku
tidak tahu apa kau bisa menyebutnya sebagai keahlian atau tidak. Aku bisa
mengenali kristal dan bebatuan dengan cepat seperti yang kulakukan tadi. Aku
bisa mengenali benda-benda angkasa hanya dalam beberapa detik, aku bahkan bisa
menggambarkan peta luar angkasa untukmu jika kamu mau. Aku sudah menghafalnya
di luar kepala. Aku bisa melakukan perhitungan gravitasinya, memperkirakan
jarak sebuah benda angkasa dengan benda angkasa yang lainnya, juga melakukan
perhitungan gaya, daya atau apa pun yang kau butuhkan untuk menciptakan sebuah
mesin atau kendaraan ke luar angkasa. Aku juga bisa membuat puisi hanya dalam hitungan
menit jika kau perlu hiburan.” Kataku sembari tertawa.
“Waw...benarkah?
Aku bahkan tidak bisa melakukan itu semua. Sungguh! Baiklah, jika memang yang
kau katakan benar, kau akan menjadi salah seorang yang kami butuhkan di dunia
ini. Aku tak sabar melihatnya. Ku rasa kau akan aman. Tapi tetap saja, untuk
sementara waktu kau harus tinggal di sini. Dan untuk puisi tadi, ehem—“ Dia
berhenti sejanak. “Itu bisa menjadi urusan pribadi.” Katanya seraya tersenyum
jahil padaku.
“Whaetever.” Kataku seraya memutar kedua
bola mataku karena merasa sedikit kesal.
“Sebaiknya
kau tidur sekarang. Aku akan mengerjakan sesuatu. Beritahu aku jika kau perlu bantuan.”
Dia menggiringku ke ruang bawah tanah, dan memintaku mengikutinya dari
belakang.
Bersambung...
CHAPTER BERIKUTNYA: CHAPTER 07
Komentar
Posting Komentar