CERBUNG: PINTU SENJA



Pintu Senja

(6th Sequel)

Written by
 Helena Nasution

 
Image source: google.com
Rigel membawaku ke sebuah koridor panjang dengan penerangan seadanya. Cahaya lampu bergerak perlahan-lahan dengan bentuk sirkular dari arah mercusuar  di pantai sebelah Utara. Tn. Pro memimpin perjalanan kami dalam jarak sekitar satu meter di depan. Sudah 10 menit sejak kami tiba di sebuah bangunan yang sampai sekarang aku masih belum tahu ini tempat apa. Aku tertidur beberapa saat yang lalu di dalam mobil yang membawa kami bertiga dari pantai tempat aku terdampar sebelumnya, lalu tiba-tiba sebuah tangan mengguncang tubuhku dengan sedikit keras, yang kemudian aku menyadari bahwa itu adalah tangan Rigel yang tengah berusaha membangunkanku. Aku sangat berharap ketika aku terbangun dari tidurku, aku akan menemukan kasurku yang empuk dan ruangan kamarku yang beraroma mint dan sedikit machiatta. Aku menyukai kedua aroma itu. Tapi sepertinya itu semua tak kan terjadi, karena sekarang aku menemukan diriku terlantar di sebuah gedung yang tak ku ketahui sama sekali, bersama dengan dua pria asing yang baru saja kutemui di pantai, dan keduanya mengaku telah berusaha menyelamatkanku saat mengambang di tengah samudera antah berantah. Dan aku pasti terlihat seperti gadis bodoh sekarang karena mempercayainya begitu saja, ditambah lagi sekarang aku berkeliaran dengan mereka di sebuah gedung tua yang sepi dan pengap. Gadis macam apa?  Pikirku, mengingat reputasiku yang terkenal pendiam, namun untuk kalangan tertentu terkenal petakilan. Entah mengapa, aku tiba-tiba teringat dengan Melly cs—ketua geng borjuis saat aku SMP—yang merasa dirinya adalah gadis paling sempurna di dunia ini. “Dasar, gadis sok polos.” Aku yakin dia akan melontarkan komentar pedas itu padaku jika saja dia mengetahui bahwa sekarang aku sedang keluyuran di sebuah bangunan sepi yang gelap saat malam hari, bersama dengan dua pria asing yang baru saja ku kenal. Menyedihkan! Gerutuku.
Kami bertiga masih berjalan beriring-iringan seperti pasukan pawai yang tersesat di tengah hutan belantara. Aku melirik sekilas ke seberang koridor, dan menemukan tanah lapang yang superluas dengan didominasi kawanan rumput cantik yang memesona. Terdapat air mancur raksasa di tengah-tengah lapangan dengan hiasan sebuah patung berwujud perempuan muda yang mencengkeram panah tanpa rasa ragu—Sang Archer, Pikirku. Dan untuk sejenak, aku merasakan kekaguman terpancar dari diriku untuk sosok patung perempuan itu. Masih dari arah koridor, aku bisa melihat beberapa kuda yang diikat pada tiang-tiang besi nan panjang. Tidak ada seorang pun di tengah lapangan, kecuali dua orang pria berbadan kekar yang bersiaga di depan sebuah pintu kayu raksasa pada bangunan di sebelah selatan kami. Aku tidak bisa melihat wajah kedua pria penjaga itu, tapi postur mereka yang kekar dan bugar tampaknya cukup membuat orang-orang di sekitar untuk tidak membuat masalah dengan mereka. Beberapa saat kemudian, lagi-lagi Rigel menyentakkan lenganku ketika kami berbelok ke arah sebuah terowongan yang cukup sempit dan pengap. Ini kesekian kalinya dia membuatku tersentak ketika otot-otot tangannya menarik lenganku dengan cukup kuat. Aku masih sedikit ngantuk, sehingga aku berjalan dengan gerakan lunglai ala pemabuk.
Selama lima menit lebih kami berjalan di dalam terowongan nan gelap dan lembab. Kemudian, aku kembali tersentak ketika tangan Rigel menarikku ke sebelah kanan, menuruni sebuah tangga kayu yang cukup curam. Ada bunyi decitan beberapa kali ketika kaki-kaki kami menginjak anak-anak tangganya yang terbuat dari kayu. “Hati-hati. Tolong hilangkan rasa kantukmu untuk sesaat.” Bentak Rigel. Intonasi suaranya yang agak tinggi membuat level kesadaranku meningkat beberapa persen. Aku membelalakkan mata, berusaha untuk bangun sepenuhnya. Namun itu hanya bisa bertahan beberapa saat, karena rasa kantukku masih cukup kuat untuk bergelayut kembali di pelupuk mata. Aku hampir terjatuh di beberapa anak tangga yang terakhir ketika Rigel akhirnya menangkisku dari bawah saat aku tersungkur ke depan, kemudian secara tidak sengaja memeluknya. “Hah..menyusahkan saja.” Desah pemuda itu. “Ayo bangunlah! Kita akan sampai sebentar lagi. Tolong kuasai dirimu.” Katanya dengan nada kesal sembari mengguncang bahuku dan menepuk-nepuk pipiku perlahan-lahan, berusaha keras membangunkanku. Dan harus ku akui, usahanya benar-benar sukses membangunkanku, karena ketika aku tersadar dan membuka mata, lalu menemukan kedua lenganku melingkar pada perut hingga ke punggungnya, aku langsung tersentak dan membuat level kesadaranku meningkat seratus persen. Saat itu juga aku terbangun secara penuh dan dunia bawah sadarku menghilang tanpa jejak.
“Ma—maaf.” Gumamku, dengan perasaan panik bercampur malu. Aku bisa merasakan detak jantungku sekarang berpacu dengan kecepatan yang tak biasa. Aku juga merasakan pipiku memanas beberapa derajat.  Bodoh sekali! Aku mengutuki diriku dalam hati. Bagaimana bisa aku memeluknya? Aku mengumpat dalam hati dan menyumpahi diriku sendiri karena tak bisa mengendalikan diri.
Rigel menatapku sembari tertawa kesal. “Sekarang, kau pasti sudah bisa berjalan dengan tegak tanpa harus dibantu, iya kan.” Komentarnya.
“Te—tentu.” Sahutku dengan terbata-bata.
Tn.Pro kemudian yang sedari tadi diam dan fokus berjalan di depan kami, kini beranjak mendekati kami. “Kalian baru saja bertemu beberapa jam yang lalu, dan entah sudah berapa kali kalian bertengkar. Aku tidak tahu kalau kalian mudah sekali akrab.” Komentarnya. Kedua matanya yang bulat seperti bola bekel bergerak-gerak lincah mengawasi kami berdua. Bola matanya bergerak bergantian antara aku dan Rigel. Dan aku merasa sedikit bersalah, karena kalau dipikir-pikir, sengaja atau tidak, akulah yang menyebabkan semua keributan sejak di pantai hingga sekarang.
“Ma—maaf.” Kataku pelan.
“Tidak apa-apa. Itu hal yang biasa terjadi di antara remaja seusia kalian.” Pria gempal itu menatapku dengan senyuman jahil, lalu tatapannya beralih ke arah Rigel yang disambut dengan wajah kesal oleh pemuda itu. “Ayo, kita hanya perlu menaiki satu tangga lagi untuk tiba di atas.”
Aku melihat ke arah pria gempal itu kemudian mengangguk-angguk. Tn. Pro kemudian mengeluarkan sebuah benda kecil berbentuk bulat dan bisa menyala. Aku tidak tahu itu benda apa, tapi yang pasti ruangan kami sekarang terlihat jauh lebih terang dari sebelumnya. Sekarang aku bisa melihat dengan sangat jelas bahwa ruangan kami berdiri saat ini tampak seperti ruangan kosong yang sudah lama ditinggalkan pemiliknya. Tidak ada apa pun di dalamnya kecuali udara dingin yang menggeliat di udara dan mengambil alih ruangan menjadi sarang yang nyaman untuk ditinggali para unsur-unsur kimia yang bermassa jenis super ringan itu.
Kami kembali ke barisan semula dengan Tn. Pro sebagai pemimpin barisan, Rigel berada di tengah, dan aku berada pada urutan paling belakang. Ada tangga lagi! Sebuah tangga kayu yang mengarah ke atas—menuju sebuah pintu kayu yang tampak tua dan usang. Kami menaikinya dengan hati-hati sebelum akhirnya pintu tua itu terbuka dan memancarkan cahaya terang benderang dari dalam.Pria gempal itu memasukinya, kemudian mempersilakan aku dan Rigel untuk mengikutinya ke dalam. Pintu tua itu kembali ditutup. Dan kami bertiga kembali berjalan beriring-iringan seperti arak-arakan semut mungil di dinding rumah. Lagi-lagi ada pintu! Kali ini bukan pintu kayu tua, tetapi sebuah pintu yang terbuat dari semen yang bisa digeser dan dibuka hanya dengan sensor sidik jari pada sebuah perkakas berbentuk screen LCD—menempel pada dinding. “Hanya aku dan Tn. Achernus yang bisa membukanya.” Pria gempal itu mengumumkan sembari menoleh pada Rigel kemudian tatapannya beralih padaku.
Pintu bergerak perlahan ke samping, menimbulkan suara berat seperti dengkuran hewan buas yang tinggal di goa. “Silakan masuk, Tuan.” Ucap Tn.Pro kepada Rigel dengan gerakan membungkuk ala pengawal kerajaan. “Ah—untuk tamu baru kita, silakan mengikuti Tn.Achernus.” Tambahnya, sembari menoleh padaku. Suaranya terdengar lebih ramah dari sebelumnya. Aku mengikuti Rigel memasuki ruangan baru dengan sedikit kikuk. Saat itu juga aku terperangah dengan apa yang kutemukan. Sebuah ruangan super mewah dengan desain glamor yang menawan, ditambah dengan nuansa klasik yang menenangkan. Ada banyak guci raksasa yang terbuat dari kramik dan perak, beberapa patung raksasa dari batu obsidian yang sama sekali tidak terlihat familiar bagiku—Itu bukan patung-patung dewa atau dewi yunani kuno yang sering kulihat dalam film-film hollywood, tidak juga patung-patung para dewi mesir kuno. Di sisi lain ruangan terdapat beberapa lemari raksasa berisi buku-buku tebal yang menjulang tinggi. Ada juga lemari-lemari kaca berisi pernak-pernik unik yang terbuat dari berbagai jenis batuan. Semua tampak berkilauan seolah terbuat dari berlian murni. “Itu berlian murni.” Ujar Rigel tiba-tiba. Entah mengapa dia bisa menjawab dugaanku bahkan sebelum aku sempat menanyakannya.

Image source: google.com

“Skala Mohs 10. Luar biasa.” Komentarku. “Kau tak perlu takut harta karunmu itu akan tergores.” Aku berjalan menelusuri beberapa lemari kaca di sisi kiriku. “Aku tak menyangka bahwa Gneiss bisa seindah ini. Gabungan antara warna hijau feldspar dan kuarsa yang cantik.” Aku mengamati sebuah kalung di dalam kaca bening yang aku yakin sekali terbuat dari ganesa atau gneiss. “Lalu di sebelahnya, ada cincin skoria,...” Aku membuka kaca penutup lemarinya yang dapat digeser, meletakkan tanganku di atas permukaan bebatuan itu sembari mengamati dan merasakan teksturnya. “gelas-gelas cantik dari diorit dan diparit, patung peri dari konglomerat, lalu prajurit perang dari travertin dan serpin.” Mataku berkaca-kaca memandangi benda-benda antik yang mengagumkan itu.
“Bagaimana kau tahu?” Alisnya mengernyit. Rigel mengamatiku dengan tatapan menyelidik.
“Aku bisa mengetahui hal-hal seperti itu. Percayalah.” Kataku tersenyum jahil. Aku merasa bangga karena bisa menebak dengan tepat. Tentu saja, kau tahu, aku gadis yang tergila-gila dengan ilmu bebatuan, alam, perbintangan, filosofi, sastra, dan....hal-hal gaib? Em—bukan, aku lebih suka menyebutnya bidang emotional dan spritualisme. Aku cukup peka dengan perubahan emosi yang terjadi di sekitarku meskipun seringkali aku terlihat tidak peduli, Ucapku dalam hati, dan merasa kebiasaanku di rumah membaca buku-buku seperti ilmu falak atau terrestial ternyata tidak sia-sia untuk dipublikasikan di dalam dunia asing ini.
“Baiklah. Terserah kau saja.” Katanya sembari tertawa ringan. “Tapi tadi itu luar biasa.” Pujinya.
“Aku akan keluar sebentar untuk memeriksa keadaan.” Kata Tn.Pro di sela-sela pembicaraan. “Ngomong-ngomong, pengetahuan tamu kita ternyata luar biasa. Aku menghargainya.” Tambahnya. Sekarang aku baru sadar bahwa rambut Tn.Pro berwarna putih dan rambut Rigel berwarna coklat keemasan dengan mata hijau yang teduh dan menenangkan. Sementara itu, warna pupil Tn.Pro terlihat lebih gelap dengan warna coklat kekuning-kuningan seperti mata kucing di rumahku—di Amethys.
“Terima kasih.” Ujarku seraya tersenyum.
“Oke, baiklah. Jaga dirimu dan tolong rahasiakan identitas tamu baru kita.” Ujar Rigel dengan ekspresi wajah yang serius.
“Pasti.” Ujar pria gempal itu sembari berlalu di balik pintu semen yang dapat bergeser—yang beberapa saat yang lalu baru saja kami lewati untuk masuk ke dalam ruangan berkilauan ini. Kini hanya ada aku dan Rigel yang tersisa di dalam ruangan mewah yang menggiurkan ini.

Image source:google.com

“Hey, kau bilang namamu Dhea?” Rigel berjalan ke arahku, lalu duduk di atas sebuah sofa beludru nan empuk berwarna coklat bercampur hitam dan putih.
“Ya.”
“Apa kau mengambil jurusan geologi, civil, architect, atau semacamnya?” Tanyanya.
“Jangan bercanda. Apa aku terlihat setua itu? Aku belum masuk universitas. Aku baru saja memasuki tahun pertamaku di SMA.” Aku mengomel.
Dia tertawa. “ Aku tak bermaksud seperti itu. Aku hanya merasa kagum dengan presentasi singkatmu tadi.” Mata hijaunya mengamatiku, menanti jawaban dengan sungguh-sungguh sembari tersenyum lebar bak malaikat yang bisa meluluhkan hati gadis mana pun. Sial! Pikirku. Dia benar-benar mengunci pandanganku sekarang, dan aku benci itu.
“Aku mengambil kelas sains dan bahasa di SMA-ku saat ini.” Kataku singkat.
“Oh itu bagus. Dan tadi itu...sesuatu yang luar biasa untuk anak SMA. Kau bisa mengenali kristal-kristal itu dengan cepat hanya dengan menyentuh dan mengamatinya.” Komentarnya.
Aku merasa tersipu dan tidak tahu harus berkata apa. Pujiannya hampir saja membuatku meleleh. Dan mata hijaunya yang hangat dan meneduhkan hampir saja membuat hatiku meluruh perlahan-lahan seperti es di gurun sahara yang mencair dan meluruh oleh teriknya mentari. Dan aku hampir berteriak-teriak dan melompat-lompat karena terlalu gembira. Ah, lebay, deh. Jangan terlalu berlebihan, pliis. Aku membentak diriku sendiri dalam hati. “Oh, iya, mengapa identitasku dirahasiakan? Kalian tidak berniat melakukan human traviking, bukan?” Tanyaku. Aku sedikit terkejut mendengar suaraku yang terdengar santai dan lantang sementara hatiku bergidik ketakutan.
Pemuda itu tertawa. “Apa kau takut?” Tanyanya dengan senyuman mengejek.
“Entahlah, ku rasa berdua denganmu di dalam ruangan ini jauh lebih menakutkan.” Sahutku datar.
“Kau ternyata lucu sekali.” Lagi-lagi dia tertawa. “Take it easy, girl. I won’t do something bad on you.
“Syukur deh, aku lega mendengarnya.” Komentarku. “Tapi...jika suatu saat ada yang tahu. Apa yang harus kulakukan? Apa aku akan dieksekusi hingga mati atau dijatuhkan ke dalam jurang?” Tanyaku serius.
“Emm—bisa saja.” Ucapnya datar—tanpa ekspresi, seolah tak peduli.
“Hey, jangan bercanda.” Bentakku. Rasa ketakutan kembali menggerogoti hati dan pikiranku.
“Dengar, di planet ini apa pun bisa terjadi. Oleh karena itu, untuk sementara, tinggallah di dalam ruangan bawah tanah—di bawah kamarku. Aku belum bisa memikirkan solusi apa pun saat ini. Aku tidak bermaksud menakutimu, tapi hukum di sini bisa sangat kejam jika terjadi hal-hal yang dianggap dapat mengganggu stabilitas negara. Jadi, tolong jangan melakukan kekacauan. Aku akan berusaha membantumu.” Ujar Rigel—wajahnya masih terlihat serius seperti sebelumnya.
“Tapi kau bilang, kau mengenal beberapa orang yang juga berasal dari Bumi? Apa yang terjadi pada mereka saat ini? Apa mereka masih hidup?” Tanyaku. Rasa penasaranku sama sekali tidak dibuat-buat.
“Mereka semua dijadikan budak. Sebagian besar sudah dihukum mati seperti yang kau katakan.” Ucapnya.
Dijadikan budak? Planet macam apa yang masih memiliki sistem perbudakan? Seharusnya dunia ini sudah terbebas dari ancaman perbudakan. Ini bukan era jahillyah atau era kegelapan atau era sebelum Abraham Lincoln lagi. Lalu dihukum mati? Kejam sekali. Rasanya di Bumi tidak pernah dilakukan pembunuhan alien. Lagi pula kami warga bumi tidak begitu percaya dengan keberadaan alien. Aku menggerutu dalam hati. Em—meskipun saat ini aku harus mempercayainya.
“Tapi...ada satu yang masih bertahan. Dia seorang hacker dari Bumi. Dia ahli dalam mengoperasikan komputer, melacak, menyusup, mencuri data, menciptakan sistem pertahanan yang rumit untuk pemerintahan, serta memelihara stabilitas lingkungan planet. Kami membutuhkannya. Oleh karena itu, dia masih bertahan hingga sekarang. Dia bahkan diberi kedudukan yang mulia di pemerintahan kami. Kami adil, bukan?” Rigel terlihat bangga dengan sistem planet mereka.
“Apanya yang adil? Kalian hanya memanfaatkannya.” Kataku dengan nada marah.
“Hey, apa kau lupa, girl, di dimensi dunia mana pun akan seperti itu. Ku rasa Bumi juga seperti itu. Bahkan kudengar pemerintahnya menyembunyikan uang rakyat untuk kepentingan pribadi, apa itu yang kau sebut keadilan? Setidaknya di duniaku semua orang mendapatkan balasan sesuai porsinya masing-masing.” Ujarnya, tak mau kalah.
Aku terdiam. Tak tahu harus menjawab apa. Toh yang dia katakan memang ada benarnya. Meskipun yang mereka lakukan tetap saja terasa kejam dan tidak manusiawi. Memperbudak atau membunuh orang hanya karena orang tersebut tidak memiliki keahlian atau pengetahuan yang berguna bagi negara? Itu benar-benar kejam.
“Jadi, kau...keahlian apa yang kamu miliki?” Rigel membuyarkan pikiran-pikiran yang berkeliaran di kepalaku.
“Aku....emm” Aku berpikir sejenak. Aku tidak tahu keahlian apa yang kumiliki. Aku terlalu lemah jika mengandalkan fisik. Tapi tidak selemah itu. Aku masih bisa setidaknya mengeroyok satu orang untuk membela diri. Pikirku.
“Oleh karena itu kau harus kusembunyikan di ruang bawah tanahku. Aku masih memiliki cukup perasaan. Aku tidak sekejam yang kau pikirkan. Tidak semua penduduk di duniaku melakukan hal-hal kejam seperti tadi yang kuceritakan. Tapi jika kau membuat kekacauan, aku tidak bisa jamin kau bisa selamat.” Katanya.
Lidahku terasa kelu. Aku menimbang-nimbang kalimat apa yang harus kuucapkan. “Memangnya aku harus bisa apa agar bisa selamat di planetmu ini?” Akhirnya pertanyaan itu terlontar.
“Emm—apa kau menguasai teknik beladiri dengan baik?” Tanyanya.
“Aku pernah belajar taekwondo selama 1,5 tahun saat di SMP. Tapi aku tidak yakin aku bisa menjadi superhero di duniamu ini.” Jawabku. “Aku bahkan tidak ingat jurus apa saja yang sudah kupelajari.” Kepalaku manggut-manggut mengingat betapa aku sudah melupakan semuanya, tidak ada satu teknik tendangan atau pukulan apa pun yang tersisa di kepalaku, kecuali gerakan scretching. Dasar payah! Aku menyesali diri sendiri.
“Bagaimana dengan hacking?
Aku menelan ludah. Apalagi itu. Pikirku. “Apa kau mau menghinaku? Aku memang bisa mengoperasikan komputer, browsing, melakukan instalasi ini dan itu, dan sesekali memperbaiki laptopku sendiri. Tapi itu hanya kerusakan kecil, bukan sesuatu yang patut dibanggakan jika berhasil memperbaikinya.” Ujarku pelan.
Dia tersenyum lebar dan hendak tertawa tetapi membatalkannya. “Tidak masalah. Tak perlu bersedih. Bagaimana dengan memasak, menjahit, atau desain?”
Aku hampir terbatuk-batuk dan tidak tahu bagaimana cara menjawabnya. Apa dia bilang? Memasak? Menjahit? Desain? Apa dia akan menjadikanku pembantu di rumahnya? Lagi-lagi aku kembali teringat dengan sistem perbudakan yang dia sebutkan sebelumnya. “Ehem—aku bisa memasak, tapi kau tidak bisa menyebutku dengan sebutan chef yang handal. Well, menjahit? Harus ku akui, aku hanya bisa menjahit sarung bantalku yang robek atau bajuku yang robek di bagian ketiak.” Ujarku mengingat beberapa minggu yang lalu aku baru saja menjahit bagian ketiak bajuku yang robek hanya karena aku merentangkan kedua tanganku ke atas dengan cukup kuat. Aku tidak yakin aku punya kekuatan untuk membuat pakaian menjadi robek. Itu sebuah kebetulan, percayalah! “Kemudian, desain? Desain apa maksudmu? Kalau hanya menggambar dengan alat tulis, atau menggunakan corel draw, aku bisa melakukannya. Tapi hanya sebatas bisa, aku tidak yakin aku bisa disebut profesional.” Tukasku.
Rigel akhirnya tak dapat menahan tawanya. “Aku tidak tahu bahwa pakaian seorang gadis bisa robek di bagian ketiak.”
“Itu bisa saja terjadi.” Bentakku.
“Sepertinya kau punya bakat melucu.” Komentarnya.
“Hey jangan menghinaku seperti itu. Kebanyakan orang mengatakan aku tak punya selera humor yang bagus.” Jawabku, mengingat betapa image diriku di lingkungan sekolah maupun rumah lebih terkenal dengan gaya yang serius dan tak punya selera humor. “Hanya sedikit kalangan yang memiliki pendapat yang sama denganmu.” Kataku.
“Kalau begitu itu kesalahan mereka.” Dia mengedipkan matanya sebelah kiri. “Ayolah, kau mungkin hanya terlalu introvert. Tunggu sampai mereka benar-benar mengenalmu.” Ucapnya masih dengan sedikit tertawa. “Aku yakin image yang kau sebutkan tadi akan hilang dalam sekejap.”
“Entahlah, aku tidak begitu peduli. Memiliki orang yang menghargai dan mempercayaiku sepenuhnya meski hanya satu orang jauh lebih berharga dibandingkan dengan image atau pendapat orang lain tentang diriku.” Sahutku datar.
“Haha...kau sekarang menjadi melankolis. Kau yakin tidak memiliki kepribadian ganda?” Tanyanya sembari tertawa.
“Sialan.” Kataku kesal.
“Lupakan, aku hanya bercanda. Ngomong-ngomong, em—jadi...keahlian apa yang kau miliki?” Akhirnya pembicaraan kembali pada topik yang seharusnya.
“Aku tidak tahu apa kau bisa menyebutnya sebagai keahlian atau tidak. Aku bisa mengenali kristal dan bebatuan dengan cepat seperti yang kulakukan tadi. Aku bisa mengenali benda-benda angkasa hanya dalam beberapa detik, aku bahkan bisa menggambarkan peta luar angkasa untukmu jika kamu mau. Aku sudah menghafalnya di luar kepala. Aku bisa melakukan perhitungan gravitasinya, memperkirakan jarak sebuah benda angkasa dengan benda angkasa yang lainnya, juga melakukan perhitungan gaya, daya atau apa pun yang kau butuhkan untuk menciptakan sebuah mesin atau kendaraan ke luar angkasa. Aku juga bisa membuat puisi hanya dalam hitungan menit jika kau perlu hiburan.” Kataku sembari tertawa.
“Waw...benarkah? Aku bahkan tidak bisa melakukan itu semua. Sungguh! Baiklah, jika memang yang kau katakan benar, kau akan menjadi salah seorang yang kami butuhkan di dunia ini. Aku tak sabar melihatnya. Ku rasa kau akan aman. Tapi tetap saja, untuk sementara waktu kau harus tinggal di sini. Dan untuk puisi tadi, ehem—“ Dia berhenti sejanak. “Itu bisa menjadi urusan pribadi.” Katanya seraya tersenyum jahil padaku.
Whaetever.” Kataku seraya memutar kedua bola mataku karena merasa sedikit kesal.
“Sebaiknya kau tidur sekarang. Aku akan mengerjakan sesuatu. Beritahu aku jika kau perlu bantuan.” Dia menggiringku ke ruang bawah tanah, dan memintaku mengikutinya dari belakang.

Bersambung...

CHAPTER BERIKUTNYA: CHAPTER 07

Komentar

Postingan populer dari blog ini

NOVEL TRANSLATION: CHAPTER LIST OF HER LADYSHIP'S SCHEME

HER LADYSHIP'S SCHEME

HER LADYSHIP'S SCHEME