CERBUNG: PINTU SENJA



Pintu Senja
(7th Sequel)

Written by
Helena Nasution

Image source: google.com

Sepertinya melongo dan memasang muka idiot sudah menjadi hobi baru bagiku saat ini. Segalanya terasa begitu aneh dan tak normal. Beberapa saat yang lalu aku baru saja melihat sebuah lantai yang berotasi di tempat sebesar 271,5º. Lantai itu adalah tempat kami berpijak sebelumnya, di mana banyak lemari kaca berdiri gagah dengan segala pernak-pernik batu kristal antik bin unik yang memenuhinya. Lalu dua buah lemari kaca yang nampak begitu berat bergeser ke kiri dan ke kanan, menampakkan sebuah ukiran berbentuk segi empat seluas satu meter persegi pada permukaan lantai. Ukiran segi empat itu ternyata hanya sebuah kamuflase pada lantai yang dapat terbuka secara otomatis ketika Rigel menekan sesuatu pada pergelangan tangannya yang bagiku, terlihat seperti sebuah jam tangan biasa. Ketika ukiran itu terbuka, sebuah lubang yang besarnya sama dengan penutup berbentuk ukiran, menganga seperti mulut singa yang sedang mengaum. Di dalamnya terdapat sebuah tangga yang terbuat dari susunan batuan granit yang telah didesain dengan tekstur yang lebih halus dan berkilau.
Tangga itu mengarah pada sebuah ruangan memukau di mana aku berdiri sekarang—mendongak pada rak-rak besi dengan ukiran seperti tanaman merambat pada sisi-sisinya. Rak-rak besi itu berisi puluhan ribu buku yang menjulang tinggi hingga nyaris menyentuh langit-langit. Di sisi lain terdapat banyak peralatan yang sama sekali tak bisa kukenali. Semua peralatan tampak canggih dan menggiurkan untuk disentuh. Di sudut ruangan—di belakang tangga yang baru saja kulewati tergeletak sebuah tempat tidur berwarna putih dengan lampu duduk berwarna kuning temaram berdiri anggun di atas sebuah meja kecil yang lagi-lagi terbuat dari sebuah batu. Gabungan antara serpin dan travertin, aku yakin itu.
Aku berjalan menuju tempat tidur tersebut setelah sebelumnya mengambil sebuah buku agak tebal dengan sampul berwarna merah bercampur kuning dari rak besi secara random. Aku merebahkan tubuhku di atas kasurnya yang empuk setibanya di atas tempat tidur. Seketika itu juga aku merasa tulang-tulangku remuk dan rapuh, seolah terurai di dalam tubuhku yang nyaris kehilangan energi. Aku membuka buku itu dengan sedikit minat yang tersisa karena rasa lelah telah memenuhiku seutuhnya. Dan taraa....sebuah kejutan? Tentu saja! Pikirku. Sejak awal sudah tidak ada yang normal di dunia ini—dunia tempat aku terdampar sekarang. Aku tidak tahu ini dimensi dunia bagian yang mana di antara milyaran dimensi yang tercipta dalam ruang multiuniverse. Tapi yang pasti, sebuah buku di tanganku sudah cukup membuatku kehilangan kewarasanku ketika tulisannya bahkan tak satu pun yang bisa kukenali, dan bahkan ada tulisan yang melompat-lompat seperti bola karet yang memantul-mantul di atas lantai. Aku benar-benar butuh psikiater sekarang! Pikirku tak karuan.
Aku langsung menutup buku itu dan berniat mempelajarinya nanti saja. Aku membetulkan posisi bantalku dan berguling ke kiri dan ke kanan untuk mencari posisi yang pas untuk tidur. Namun sepertinya pikiranku jauh lebih berkuasa atas tubuhku sekarang, sehingga bahkan untuk memejamkan mata pun terasa sulit untuk dilakukan. Aku berguling ke sebelah kiriku, memandangi dengan malas sebuah meja batu kecil dan sebuah lampu tidur di atasnya. Sebuah benda kecil dan tipis tergeletak di atasnya. Aku langsung tertarik pada benda itu dan mengambilnya. “Tekan ini jika ada yang ingin kau katakan dari bawah sini. Aku akan keluar sekarang.” Ujar Rigel beberapa saat yang lalu sebelum dia meninggalkan ruangan besar yang dibangun di bawah kamar mewahnya. Benda mungil itu berfungsi sebagai alat telekomunikasi. Rigel yang mengatakannya.
Hanya ada tiga tombol yang tertera di permukaan benda mungil itu. Satu tombol berwarna biru untuk melakukan panggilan, satu tombol berwarna merah untuk mengakhiri panggilan, dan satu tombol lagi berwarna kuning yang entah untuk apa fungsinya. Rigel tidak menjelaskan fungsi tombol terakhir. Dia sudah pergi meninggalkan ruangan bawah tanah sebelum aku sempat menanyakannya. Aku menggenggam benda itu dengan perasaan kalut sembari menimbang-nimbang keputusanku, akankah aku menelpon Rigel saja atau tidak. Setelah berpikir sejenak, aku meletakkan benda mungil itu kembali di atas meja batu. Lagi pula, apa yang harus kutanyakan terlebih dahulu? Pikirku. Ada begitu banyak pertanyaan yang berseliweran di dalam rongga-rongga otakku hingga terasa sulit bahkan untuk memilah-milahnya tentang pertanyaan mana yang harus kulontarkan terlebih dahulu. Planet apa ini? Apakah ini sungguh sebuah planet, atau dimensi lain yang berbeda dari dimensi Bumi?Di mana Ebby dan Kim? Bagaimana aku bisa tiba-tiba berada di dunia aneh ini? Apa yang harus kulakukan untuk bisa keluar dari sini? Atau...apakah aku masih bisa keluar? Pertanyaan terakhir membuatku bergidik. Bagaimana jika aku benar-benar akan terperangkap selamanya di sini? Bagaimana jika aku tidak bisa kembali? Hah! Aku mendesah galau. Rasanya segalanya begitu mustahil, seolah seseorang sedang bermain-main dengan ingatanku—dengan pikiranku—atau dengan dunia bawah sadarku. Kau tahu, seperti Maze Runner—sebuah film yang bercerita tentang bagaimana emosi, pikiran dan ingatan bisa diolah dan dimodifikasi sedemikian rupa sehingga kau bahkan tak bisa mengingat namamu. Bagiku itu terasa seperti lelucon canggih yang menyebalkan. Aku tak suka jika seseorang bermain-main dengan pikiranku. I’m fed up with.
Aku memutar tubuhku dan menelungkupkan wajahku pada bantal empuk berwarna putih. Rasanya dingin dan sejuk. Andai saja semua ini benar-benar sebuah mimpi. Aku sungguh merindukan kasurku sekarang, merindukan Ebby dan Kim, merindukan Papa dan Mama, merindukan segalanya. Aku pernah mengeluh dan menggerutu pada diri sendiri tentang betapa membosankannya hidupku ketika akhirnya Tuhan memberikan sesuatu untukku yang bahkan lebih dari sekedar luar biasa. Semua yang terjadi saat ini bahkan tak bisa dijelaskan dengan nalar. Aku tidak percaya jika masih ada yang mengatakan kejadian ini sesuatu yang membosankan. Aku bahkan tak bisa mengatupkan mulutku sekarang mengingat segalanya terjadi begitu tiba-tiba, dan segalanya benar-benar tak masuk akal. Dan satu hal lagi, aku menyesal karena aku mengeluhkan sesuatu yang tidak penting dalam hidupku. Aku merindukan kehidupanku yang normal, meski aku tetap menginginkan sesuatu yang luar biasa terjadi dalam hidupku, tapi bukan hal yang seperti ini. Hah! Lagi-lagi aku mendesah galau.
“Hey!” Sebuah suara menegurku ketika aku hampir terlelap. Suara itu samar-samar berdengung di telingaku ketika akhirnya aku berusaha keras membuka mata dan mengamati seluruh ruangan. Tidak ada siapa pun! “Oh, aku pasti bermimpi.” Gumamku.
“Hey, apa kau sudah tidur?” Suara itu kembali terdengar. Kali ini aku benar-benar terbangun seutuhnya. Aku menjelajah seluruh ruangan dengan mataku tapi tak berhasil menemukan siapa pun. “Hallo, ini aku Rigel. Lihat ponselmu di atas Traserv’s stone.”
Traserv’s Stone? Apa itu? Pikirku. Aku belum mengerti apa itu Traserv’s stone ketika tiba-tiba aku menyadari bahwa suara itu berasal dari ponsel mungil yang diberikan Rigel beberapa jam yang lalu. Yap, sebuah ponsel kecil dan tipis yang hanya memiliki tiga tombol di atasnya. Aku tak begitu menghiraukan apa arti istilah yang diucapkannya karena aku langsung saja menyambar benda mungil itu dan mendekatkannya ke telingaku.
“Kau tak perlu mendekatkan benda itu ke telingamu.” Celotehnya dari seberang.
“Bagaimana kau tahu?” Aku terhenyak dan menyadari bahwa suaraku terdengar panik ketika memikirkan bahwa dia sekarang sedang memata-mataiku dengan sebuah cctv atau semacamnya.
“Jangan berperasangka buruk dulu. Aku tidak sedang menguntit, memata-mataimu, atau apa pun istilahnya. Aku tahu kau akan memperlakukan benda itu seperti ponselmu yang biasa di Bumi.  Aku hanya menebak, dan ternyata benar. Itu saja.” Ucapnya dengan nada datar.
“Em—ada apa?” Tanyaku—berusaha untuk menstabilkan suaraku kembali.
“Tidak begitu penting, hanya ingin tahu apa yang sekarang sedang dilakukan gadis Bumi yang begitu paranoid.” Ujarnya dengan nada jahil.
What? Dengar, aku baru saja bertemu dengan orang-orang baru, tempat yang baru, dan...tentu saja sangat wajar jika aku bersikap waspada. Itu tidak bisa dikatakan paranoid. Dasar, apa kau tak bisa membedakan keduanya?” Suaraku kembali meninggi.
“Oh, kau ternyata suka sekali mengoceh. Oke, lupakan. Jadi, apa yang sedang kau lakukan?”
“Wah jenius, tentu saja aku sedang berbicara denganmu.”
Terdengar suara tawa dari seberang. “Maksudku, apa yang sedang kau lakukan di jam-jam seperti ini? Tidakkah seharusnya kau tidur?”
“Ehem—sobat...” Aku berhenti sejenak. “Kau lupa? Kau yang sudah membangunkanku. Kau menelponku dengan ponsel aneh ini.”
“Ah—iya benar.” Dia berdeham.
“Jika tidak ada sesuatu yang penting, aku akan kembali tidur bila kau tak merasa keberatan.”
“Baik.”
“Oke.” Aku mematikan ponselku dan meletakkkannya kembali di atas meja batu dengan perasaan kesal. Dan entah mengapa saat itu aku tiba-tiba menyadari bahwa kemungkinan Traserv’s stone itu berasal dari kata Travertin dan Servin, Lalu disingkat menjadi Traserv’s stone yang artinya Batu Travertin dan Servin. Aku yakin dugaanku benar seribu persen.
Beberapa saat aku terdiam dan kembali membenamkan kepalaku pada bantal empuk yang terasa dingin dan sejuk di kulit. Apa-apaan dia? Dia membangunkanku dan dia menanyakan apa yang ku lakukan? Ada-ada saja. Aku masih tak berhenti mengoceh. Beberapa saat kemudian, aku nyaris terlelap ketika suara Rigel lagi-lagi mengusikku dari sebuah benda mungil bernama ponsel, lebih tepatnya ponsel aneh yang hanya mmiliki tiga tombol di permukaannya.
“Hey, kau mau main tebak-tebakan?” Suara Rigel terdengar dari seberang. Bahkan suaranya terdengar begitu teduh. Pikirku, dan aku merasa aneh pada diriku sendiri mengapa tiba-tiba memuji suaranya.
“Tidak.”
“Tidak mau?”
“Tidak.”
“Ayolah...”
“Tidak akan.”
“Sungguh?”
“Ya.”
“Oke, ayo mulai main tebak-tebakan.”
“Aku bilang, TIDAK!”
“Oke, baiklah.”
Ada hening sejenak.
“Ehem—kau akan tidur?”
“Menurutmu?”
“Oke, aku akan tutup teleponnya.”
great.
Untuk kedua kalinya sambungan telepon itu terputus. Dasar, mengganggu saja, menyebalkan! Lagi-lagi aku menggerutu. Aku kembali pada bantalku, namun sepertinya mataku semakin sulit untuk dipejamkan. Setelah dua kali dibangunkan, rasa kantuk yang menyerangku beberapa saat yang lalu telah sirna entah ke mana. Kini aku benar-benar telah terjaga sepenuhnya. Aku mengambil buku tebal yang ku ambil beberapa saat yang lalu dari rak besi, tapi sepertinya aku masih belum berada dalam mood yang bagus untuk mempelajarinya. Aku mengembalikan buku itu ke atas meja batu, kemudian memikirkan apa yang harus ku lakukan untuk bisa tertidur kembali. Tidak, tidak ada yang bisa ku lakukan. Aku terlalu lelah jika harus menggeledah ruangan bawah tanah ini sekarang, dan aku merasa terlalu malas untuk melakukan apa pun saat ini. Tidak ada energi yang tersisa. Rasanya lapar sekali. Aku melirik ponsel di sebelah kananku, kemudian mengambilnya.
“Hey, Rigel...kau masih di sana?”
“Ya, apa kau berubah pikiran dengan tawaranku tadi?”
“Emm—aku, eh apa kau punya makanan?”
Tidak ada jawaban dari seberang. Aku menunggu beberapa saat namun tetap tak ada suara. “Aku akan main tebak-tebakan denganmu, tapi sekarang aku sangat lapar. Kau tahu, aku tidak bisa berfikir jika aku sedang lapar, jadi—aku harus makan terlebih dahulu, lalu aku akan bermain guessing denganmu, bagaimana?”
Tetap tidak ada jawaban atau suara apa pun dari seberang. “Oh, ke mana sih dia?” Tanyaku sambil merengut dalam hati. Akhirnya aku mematikan ponsel itu kembali. Aku merebahkan tubuhku di atas kasur sembari menahan rasa lapar. Menyedihkan sekali! Gerutuku. Pikiranku kembali melambung pada rumah, mengenang kembali aroma soup kesukaanku yang sering dimasak oleh Bibi Elly. Tak pernah ada masalah ketika aku kelaparan pada tengah malam, karena lemari pendingin selalu penuh dengan makanan dan minuman. Aku bahkan tak pernah keberatan memasak mie tengah malam jika perut sudah meronta-ronta bak sapi kesurupan. Namun sekarang, semua itu tak kan terjadi. Dan aku tak tahu apakah semua itu akan dapat terulang lagi atau tidak.

Image source: jagatplay.com

Selama lima belas menit aku meringis di atas kasur, terkadang berjalan-jalan ke sana-ke mari di dalam ruang bawah tanah. Aku mengamati sisi-sisi ruangan dan benda-benda canggih di dalam ruangan tanpa minat sama sekali. Pikiranku tak dapat dikendalikan, begitu pun lambungku terasa kian perih dan membuatku mual karena produksi asam lambung yang berlebihan di dalamnya. Aku berusaha melakukan sesuatu atau mencari sesuatu agar aku bisa melupakan rasa laparku. Lalu, tepat saat itu mataku teralihkan oleh sebuah pintu di ujung koridor gelap di sebelah tenggara ruangan. Aku berusaha mencari saklar lampu, dan yap...berhasil! Tanpa pikir panjang, aku menelusuri koridor. Hanya sekitar dua setengah menit aku sudah tiba di depan pintu. Saat aku sibuk mencari cara untuk membuka pintu, tiba-tiba suara Rigel terdengar lagi. Suaranya terdengar agak jauh karena berasal dari ruangan di ujung koridor. Aku bergegas kembali ke dalam ruanganku, dan mengambil ponsel mungil di atas meja.
“Ya, kenapa?”
“Naiklah ke atas. Aku baru saja selesai memasak.”
Apa? Memasak? Jadi, selama dua puluh menit  dia mengabaikan panggilanku karena dia sedang memasak?  “Eh—baiklah. Aku akan segera ke atas.” Aku merasa senang sekali karena akhirnya aku bisa makan. Aku tidak menyangka dia mau repot-repot memasak hanya karena aku menanyakan makanan. Aku pikir dia sengaja tidak menjawab panggilanku dan membiarkanku menikmati rasa laparku. Aduh, aku sudah berburuk sangka. Pikirku dengan perasaan menyesal.
“Oke.”
Aku menemukan beragam masakan yang sudah disajikan dengan rapi di atas meja setibanya aku di lantai atas. Ruang makan itu terletak di sebelah kanan ruang tidur Rigel. Aku mengamati dapur dan ruang makannya. Semuanya didesain dengan gaya interior yang menarik. Dapurnya bahkan dilengkapi dengan satu set kitchen island yang menawan. Semuanya disusun sedetail mungkin, baik itu ukuran peralatannya, posisinya, warnanya, dan bentuknya. Sejenak aku berpikir bahwa dapurnya bahkan jauh lebih megah daripada kamar tidurku sendiri di rumah. Benar-benar tidak adil! Tapi toh, aku tak pernah punya hak untuk memberikan penilaian terhadap ciptaan dan pemberian Tuhan. Aku tahu segalanya sudah direncanakan oleh Tuhan, jadi aku tak seharusnya menghakimi sesuatu itu adil atau tidak, maupun baik atau buruk.
“Silakan makan.” Sambut Rigel dengan senyuman hangat setibanya aku di meja makan. “Aku harap kau menyukai masakanku.”
Aku mengambil posisi duduk di seberang Rigel. Kini kami berdua duduk berhadap-hadapan dengan berbagai macam makanan dan minuman mengisi ruang di antara kami. Aku mengamati masakan dan minuman di hadapanku. Semuanya masih hangat dan segar karena baru saja dimasak. Ada beberapa makanan yang mirip dengan masakan yang sering dibuatkan oleh Bibi Elly, namun lebih banyak jenis masakan yang tidak kuketahui.
“Kau, lebih menyukai makanan kering atau yang berkuah?”
“Aku lebih suka yang berkuah.” Tuturku.
“Oh, baiklah. Kalau begitu kita sama.”
“Apa aku boleh mencoba yang ini?” Tanyaku sembari menunjuk sebuah masakan dengan kuah berwarna merah, sayuran berwarna biru bercampur oranye yang belum pernah ku lihat, dan daging ikan utuh berwarna coklat kemerah-merahan. “Enak sekali.” Komentarku ketika sesendok daging ikan yang dilumuri kuah pedas masuk ke dalam mulut dan kerongkonganku.
“Kau menyukainya?”
“Yah, a lot.” Jawabku singkat. Sementara itu aku merasa sedikit kecewa karena tidak dapat menemukan nasi. “Em—apa di sini orang-orang tidak makan nasi?”
“Ah, kau ingin makan nasi?”
“Emm—yah, tapi jika memang tidak ada kau tak perlu memaksakannya. Aku bisa makan masakan yang lain.” Ujarku sambil tersenyum.
“Maaf, aku tidak terbiasa makan nasi. Jika kau mau menunggu, aku akan meminta Tn. Pro membawakan beras ke sini untuk dimasak.”
“Tidak perlu. Masih banyak masakan yang lain yang bisa ku makan.” Aku merasa sedikit bersalah karena telah merepotkannya.
“Ok, baiklah.”

Image source: google.com


Usai makan, akhirnya aku merasa energiku telah pulih kembali. Aku bisa merasakan sengatan semangat menjalari tubuhku. Aliran darah di pembuluhku terasa lebih baik. Otakku terasa lebih nyaman untuk berpikir. Aku membantu Rigel untuk membereskan peralatan makan dan mencucinya. Setelah itu, kami bermain tebak-tebakan kata dengan cara mencari padanan katanya yang sesuai atau yang berhubungan. Rigel yang memberikan pertanyaan, dan aku yang harus menjawab.
“Karena kau menyukai bintang, kau harus mencari jawaban yang berhubungan dengan bintang.” Ujarnya.
“Ok, tidak masalah.” Sahutku.
“Kau terlihat percaya diri sekali.” Katanya sembari tertawa ringan.
“Tentu saja. Belum ada yang bisa mengalahkanku jika berhubungan dengan bintang. Aku yakin itu.” Jawabku asal sembari ikut tertawa dengannya.
“Baiklah, kita mulai.” Dia diam sejenak sembari memikirkan pertanyaan yang akan dia berikan padaku. “Fajar?”
“Venus.”
“Olympus?”
“Mars.”
“Pengganggu orbit planet raja laut?”
“Pluto.”
“62 tahun?”
“Halley.”
“Waw, luar biasa.” Rigel tersenyum sembari mengangkat dan menurunkan alisnya dengan jahil.
“H. G. Wells?”
“Martian.”
“Ikat pinggang?”
“Orion.”
“Yap, benar. Selanjutnya, Orion?”
“Emm—Zeta?” Aku ragu sejenak.
“Apa kau yakin?”
“Yah, yakin sekali.”
“Oke, tepat. Zeta secara tradisional?”
“Alnitak.”
“Yuhu! Utara?”
“Vega.”
“Cincin?”
“Alhena.”
“Cendrawasih?”
“Apus.”
Dora the explorer?”
Aku mengernyitkan dahi karena tidak menemukan apa pun yang berhubungan.
“Em—maksudku, SwiperSwiper di dalam Dora the explorer.”
Aku tersenyum. “Tentu saja, jawabannya Vulpecula.”
Dia mengamatiku sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Oke, yang terakhir, karena aku yakin kamu sudah mengantuk. Pertanyaan yang terakhir, temukan yang berhubungan dengan kambing?”
“CAPELLA!” Jawabku dengan perasaan riang karena berhasil menjawab semua pertanyaannya. Namun saat aku mengucapkan kata Capella, aku langsung terhenyak. Aku merasakan sesuatu berdesir di dalam darahku. Ada sesuatu yang janggal dengan kata itu—sesuatu yang berhubungan dengannya. Tapi apa? Tiba-tiba aku teringat dengan catatan harian yang ku temukan di dalam perpustakaan rumahku. YAH, ITU ADALAH PENGGALAN SYAIR YANG TERDAPAT DALAM BUKU CATATAN ITU! Adrenalinku tiba-tiba berpacu, dan aku merasakan seolah ada sengatan listrik yang menyetrum kulitku.
Jika itu sulit, carilah riak pantai yang bergemuruh
Lalu temukan tempat berteduh
Tempat yang damai tanpa mentari siang
Sebuah pohon di bukit Capella
Sebuah kunci untuk menutup gerbangnya
Sebelum lingkaran itu kembali sempurna kemudian berputar

“Ada apa?” Tanya Rigel.
“Eh—apa di sini ada kebun binatang, peternakan kambing, atau semacamnya?”
Rigel mengamatiku. Entah mengapa saat itu ekspresinya berubah menjadi tajam dan dingin. Dia memperhatikanku begitu lekat. Dan aku merasakan sorot matanya berubah menjadi begitu murka, seolah kedua pupilku telah berhasil ditembusnya, dan aku terhempas ke belakang, terjungkal karena pertanyaanku sendiri. Aku tidak tahu apa yang harus ku lakukan. Bagaimana jika dia tahu aku sedang berusaha melarikan diri? Bagaimana jika dia memiliki hubungan dengan semua ini? Bagaimana jika dia dan Tn. Denim palsu adalah dalang dari semua masalah ini?
“Baiklah. Aku akan mengantarkanmu besok. Kebun binatang bukan tempat favoritku, tapi aku tetap menyukainya.” Ekspresinya kembali normal. Sorot matanya kembali damai, dan dia berbicara kepadaku sembari tersenyum seolah orang dengan ekspresi dingin beberapa saat yang lalu bukanlah dirinya.
“Baiklah, terima kasih banyak.” Sahutku, masih dengan perasaan kalut.


 Bersambung...

CHAPTER BERIKUTNYA: CHAPTER 08

Komentar

Postingan populer dari blog ini

NOVEL TRANSLATION: CHAPTER LIST OF HER LADYSHIP'S SCHEME

HER LADYSHIP'S SCHEME

HER LADYSHIP'S SCHEME