CERBUNG: PINTU SENJA
Pintu Senja
(8th Sequel)
written by
Pria itu berdiri di atas gundukan pasir kuarsa berwarna putih jernih dengan setelan jas dan celana panjang berwarna perak. Gundukan pasir itu tampak berkilauan karena tertimpa butir-butir foton sinar mentari. Pria itu sama sekali tidak bergerak, seolah kedua kakinya telah menyatu dengan tanah, bahkan angin yang berhembus kuat pun tak mampu untuk menggerakkan helaian rambutnya. Aku berlari menghampiri pria aneh itu, tapi entah mengapa langkahku terhenti oleh sesuatu yang tak terlihat, seolah ada dinding penghalang tak kasat mata yang mengepung hamparan lautan di hadapanku. Aku berusaha sekuat tenaga untuk bisa menghampiri pria itu, namun dinding di hadapanku sama sekali tak berkutik. Dinding itu telah menolakku. Usahaku bahkan bernilai nol, karena dinding ajaib tak terlihat itu sedikit pun tak goyah meski telah didorong berkali-kali. Sial! Aku mengumpat dalam hati. Aku memutuskan untuk berlari ke sisi pantai yang lain, lalu ke sisi pantai yang lainnya lagi, lalu ke sisi pantai berikutnya, tapi tetap saja, dinding itu seolah telah meliputi lautan itu sepenuhnya. Aku hampir putus asa, ketika akhirnya aku memutuskan untuk menghampiri pria itu kembali meski tanganku tak mampu menjangkaunya. "Hey!" Teriakku sekencang-kencangnya. "Hey, apa kau mendengarku? Kau bisa membantuku untuk membukakan pintunya?" Tidak ada jawaban. "Tentu saja." Gumamku. Aku sudah menduga bahwa pria itu bukanlah makhluk hidup melainkan seonggok patung yang sama sekali tak berguna.
Akhirnya, aku memutuskan untuk menghentikan usahaku yang tampaknya hanya sia-sia saja. Tapi sesaat sebelum aku membalikkan badan untuk meninggalkan pria itu, sesuatu yang berkilauan menarik perhatianku. Posisi bintang berwarna merah di angkasa yang membentuk sudut 270 derajat dengan kaki langit bagian barat membuat sesuatu yang tadinya tidak terlihat menjadi terlihat. "Apa itu sebuah tato?" Gumamku, ketika sebuah gambar aneh terukir di belakang telinga pria itu. Gambar itu tampak seperti kepala naga dengan dua tanduk rusa dan dua buah mata besar menyalak menyorotku dengan tajam. Ekor naga itu saling tumpang tindih kemudian melingkar ke belakang membentuk sesuatu seperti simbol "&" dalam susunan alfabet latin. Aku mendekatkan wajahku dan menempelkan kedua tanganku pada dinding tak terlihat yang membelenggu ombak di lautan dengan seorang pria berbaju perak mematung di dalamnya. Kali ini aku benar-benar yakin bahwa itu adalah sebuah tato berwarna merah berbentuk naga dengan tanduk rusa yang panjang dan meliuk-liuk ke atas. "Hey, tolong bicaralah padaku!" Lagi-lagi aku berteriak meski aku yakin hasilnya akan tetap sama. "Baiklah." Gumamku dengan perasaan lelah. Aku berbalik membelakangi lautan dan kembali murung ketika menyadari bahwa aku sendiri tidak tahu ke mana harus pergi. Tak ada tanda-tanda kehidupan di tempat itu. Aku bahkan tidak tahu apakah aku harus melangkah ke kiri, ke kanan, atau ke depan. Di sisi kiri dan kananku hanya ada hamparan pasir dan lautan yang tak terbatas, di belakangku terbentang genangan air laut dan seorang pria aneh dengan baju peraknya yang eksentrik, ditambah dinding aneh tak terlihat yang membuat keadaan semakin tak masuk akal. Lalu, apakah aku harus melangkah ke depan? Aku memandang hamparan pasir putih di hadapanku yang mulai tampak gelap karena sebagian bintang merah tadi telah menghilang di ufuk barat dan sebagiannya lagi tertutup kabut tebal di angkasa. "Apa yang akan aku temui di depan?" Pikirku tak karuan. "Tidak ada pilihan lain, satu-satunya jalan hanyalah aku harus tetap melangkah, tentang apa yang akan ku temui, akan kupikirkan nanti saja, yang pasti aku harus menyiapkan diri." Aku berusaha memotivasi diri sendiri.
Hanya beberapa langkah ketika kaki-kakiku meninggalkan deburan ombak di belakang bersama dinding misterius yang tak memberikanku tiket untuk masuk, aku merasakan tubuhku runtuh dan aku kehilangan keseimbangan. Benar saja, pasir-pasir di bawah kakiku mulai meliuk-liuk dan perlahan-lahan runtuh. Entah mengapa pasir-pasir itu tiba-tiba terasa hidup dan berencana untuk membunuhku. Kedua kakiku sudah terbenam di dalam pasir hingga mencapai setengah betisku. Aku sontak berlari meski kedua kakiku sulit digerakkan. Tapi semakin aku berlari semakin aku terbenam, kini pasir itu telah membenamkanku sampai pada bagian pinggang. Aku berteriak sekecang-kencangnya, " seseorang, siapa pun, tolong aku!" Pekikku. Aku menoleh ke belakang, pria eksentrik dengan seragam berwarna perak itu masih di sana, tapi sebuah kapal pesiar dengan ukuran yang tak biasa semakin mendekat ke arah daratan. Ada dua orang berdiri di atas kapal, keduanya melambai-lambaikan tangan. Aku tidak tahu apakah mereka melambaikan tangan untukku atau aku hanya terlalu percaya diri. Tapi satu hal yang pasti, tubuhku semakin jauh terbenam ke dalam pasir. Kini hanya bahu, kepala dan kedua tanganku yang terangkat ke atas yang masih tampak di permukaan.
Kapal pesiar itu semakin dekat, dan aku perlahan-lahan mulai bisa melihat orang-orang yang berdiri di atas kapal. Itu Eby dan Kim! Pekikku, tenggorokanku tiba-tiba terasa sakit. Leherku terasa panas seolah seseorang sedang mencekikku dari belakang. Aku memanggil mereka--Memanggil Eby dan Kim, tapi mereka tak membalas. Akhirnya kapal itu berhenti di bibir pantai. Aku memfokuskan kedua mataku dan nyaris tak percaya dengan apa yang kulihat. Sejak awal, tidak ada yang melambaikan tangan, karena sejak awal kedua tangan mereka memang dipaksa untuk terangkat ke atas oleh dua buah rantai yang membuat tangan-tangan mereka seolah sedang melambai. Kedua kaki mereka juga dirantai pada tiang-tiang kapal. Aku meringis saat melihat kepala keduanya tertunduk ke bawah. "Eby! Kim!" Pekikku. "Apa yang terjadi? Tolong jawablah aku. Aku ada di sini!" Aku berteriak dengan perasaan yang begitu putus asa. Aku menggerak-gerakkan tubuhku di dalam pasir, berharap bisa keluar, namun sia-sia. "Eby! Kim!" Aku merasakan suaraku bergetar di tenggorokan dan jantungku berdetak tak karuan. Saat itu juga aku tak bisa menahan tangis. "Tolong, siapa pun, tolong kedua saudaraku!" Aku menunduk pasrah ketika pasir-pasir itu semakin merajalela melahapku dan hanya kedua mataku serta ubun-ubunku yang tampak di permukaan. "Kim, Eby, kalian harus baik-baik saja. Pastikan itu!" Teriakan itu tercekat di tenggorokan bersamaan dengan terbenamnya seluruh tubuhku ke dalam perut pasir. Aku menghilang.
````````````````````````````````````````````````
Ding dong!
"Hey, Dea, apa kau sudah bangun?" Sebuah suara terdengar dari sebelah kananku, berasal dari sebuah alat komunikasi unik dengan tiga tombol aneh yang diberikan Rigel padaku. Aku baru saja terbangun dengan nafas berat dan tersengal-sengal seolah aku baru saja berlari beratus-ratus mil jauhnya. Aku berusaha mencerna kalimat yang baru saja kudengar. 'Itu suara Rigel', pikirku ketika akhirnya kesadaranku telah pulih sepenuhnya. Aku tak langsung menjawab pertanyaan itu, aku butuh ke kamar mandi sesegera mungkin. "Ah--sepertinya belum bangun", Rigel menjawab sendiri pertanyaannya.
Aku membenamkan wajahku pada pancuran kecil di wastafel, lalu mendongak pada cermin. Aku belum pernah melihat wajahku sepucat itu, benar-benar buruk! Dan aku rasa, aku perlu memotong rambutku secepat mungkin. Aku benar-benar tampak tidak waras, benar-benar kacau! Mimpi itu belum sepenuhnya hilang dari kepalaku, dan itu membuat keadaan semakin kacau. Aku berusaha meyakinkan diri sendiri bahwa yang terjadi di pantai, bahwa Kim dan Eby tidak sadarkan diri di atas kapal pesiar, bahwa aku melihat seorang pria eksentrik dengan seragam aneh berwarna perak dengan sebuah tato aneh di belakang telinganya, dan bahwa pasir-pasir itu telah melenyapkan tubuhku sepenuhnya, aku berusaha sekuat tenaga meyakinkan diri bahwa SEMUA ITU HANYALAH MIMPI! 'Yah aku tahu', gumamku. 'Itu tidak benar-benar terjadi', lagi-lagi aku berbicara pada diri sendiri.
"Hey, Dea, apa kau sudah bangun?" Sebuah suara terdengar dari sebelah kananku, berasal dari sebuah alat komunikasi unik dengan tiga tombol aneh yang diberikan Rigel padaku. Aku baru saja terbangun dengan nafas berat dan tersengal-sengal seolah aku baru saja berlari beratus-ratus mil jauhnya. Aku berusaha mencerna kalimat yang baru saja kudengar. 'Itu suara Rigel', pikirku ketika akhirnya kesadaranku telah pulih sepenuhnya. Aku tak langsung menjawab pertanyaan itu, aku butuh ke kamar mandi sesegera mungkin. "Ah--sepertinya belum bangun", Rigel menjawab sendiri pertanyaannya.
Aku membenamkan wajahku pada pancuran kecil di wastafel, lalu mendongak pada cermin. Aku belum pernah melihat wajahku sepucat itu, benar-benar buruk! Dan aku rasa, aku perlu memotong rambutku secepat mungkin. Aku benar-benar tampak tidak waras, benar-benar kacau! Mimpi itu belum sepenuhnya hilang dari kepalaku, dan itu membuat keadaan semakin kacau. Aku berusaha meyakinkan diri sendiri bahwa yang terjadi di pantai, bahwa Kim dan Eby tidak sadarkan diri di atas kapal pesiar, bahwa aku melihat seorang pria eksentrik dengan seragam aneh berwarna perak dengan sebuah tato aneh di belakang telinganya, dan bahwa pasir-pasir itu telah melenyapkan tubuhku sepenuhnya, aku berusaha sekuat tenaga meyakinkan diri bahwa SEMUA ITU HANYALAH MIMPI! 'Yah aku tahu', gumamku. 'Itu tidak benar-benar terjadi', lagi-lagi aku berbicara pada diri sendiri.
Image source: google.com
Aku menundukkan kepala, berusaha menghilangkan pikiran-pikiran negatif yang berseliweran di rongga kepala. Aku tahu, mungkin *Fear, Sadness, dan Anger sedang bekerja di setiap sel-sel otakku untuk menggantikan Joy, sementara Disgust sedang memikirkan brokoli hijau aneh yang menjijikkan dan mencari persamaannya yang paling tepat untuk membuat tanaman hijau malang itu terlihat semakin menyedihkan. Aku kembali mendongakkan kepala, menatap cermin dengan mata suram, mengamati pakaian putihku yang diberikan Rigel, mengamati lengan, tangan dan kedua kakiku. Fakta bahwa aku tidak menemukan sebutir pasir pun yang menempel pada tubuhku membuat pikiranku sedikit lebih tenang. Tapi pikiranku tentang Eby dan Kim sekali lagi membuat keadaan semakin runyam. "Hah, ku harap tak ada satu pun hal buruk yang terjadi. Ku harap kalian baik-baik saja." Aku meninggalkan kamar mandi, mengambil sebuah gaun berwarna merah muda dan bersiap-siap untuk mandi.
````````````````````````````````````````````````
Image source: google.com
Image source: google.com
"Apa terjadi sesuatu?" Rigel menatapku serius.
"Tidak." Sahutku datar.
"Ah--aku tahu, pasti mimpi buruk." Mulutnya terbuka lebar dan kedua bola matanya tampak membesar dengan kedua pupil hijau yang menarik, seolah tengah menungguku untuk membenarkan kesimpulannya.
"Yah, begitulah." Aku berusaha menjawab setenang mungkin. Aku tidak suka jika seseorang mengetahui aku sedang panik, itu memalukan!
"Oke, baiklah, itu hanya mimpi, jadi tidak perlu terlalu dipikirkan. Sebaiknya kau ikut denganku, aku sudah menyiapkan sarapan." Rigel menarik lenganku dan kami lagi-lagi berada di ruang makan yang megah.
"Kau yang memasak semua ini?" Aku terkejut sekaligus takjub ketika lagi-lagi dia memasak untukku. Untukku? Ah, tidak, maksudku untuk kami. Oh ayolah, Dea, berhenti memikirkan hal yang aneh-aneh, dan cobalah untuk menghilangkan perasaan tidak waras itu! Aku membentak diri sendiri.
"Yah, tentu saja. Aku adalah si 'Tuan serba bisa', kau bisa mengandalkanku." Dia mengedipkan mata kanannya padaku sembari duduk di atas kursi lalu membagikan piringnya padaku.
"Ah ya, ku rasa aku juga harus memanggilmu si 'Tuan yang suka memuji diri sendiri'." Kataku sembari tertawa kecil. Dia ikut tertawa dan mengabaikan celotehanku, sementara tangannya sibuk mengambil berbagai jenis makanan untuk diletakkan di atas piringnya.
"Sesekali kau perlu memuji diri sendiri, Nona. Itu baik untuk psikologimu." Ujarnya dengan senyuman hangat yang membuatku semakin ingin berlama-lama duduk dengannya di ruang makan. Ah sial! Aku mengutuki diri sendiri. 'Ya Tuhan, perasaan macam apa ini?' Sepertinya aku perlu membenamkan diri di laut merah untuk mensucikan pikiranku dan membuang jauh-jauh perasaanku yang sekarang. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi, dan mengapa aku harus merasa tidak waras ketika sedang bersama dengannya. Bodoh! Bodoh! Aku meneriaki diri sendiri di dalam hati.
"Haha, begitu ya." Aku merasa aku sedang memaksakan diri untuk tertawa dan itu membuatku terlihat semakin bodoh di hadapannya. Huaaaaaaa gilaaaaaa!
"By the way, kau benar-benar ingin ke kebun binatang hari ini?" Rigel mengingatkanku kembali soal tujuanku untuk mencari tahu arti Capella--sebuah keyword yang terdapat pada catatan aneh yang kutemukan di dalam perpustakaan di rumah baru kami.
"Ya, jika kau tak keberatan." Ujarku.
"Tentu saja tidak."Ujarnya dengan ramah.
"Baik, terima kasih." Ujarku senang karena ada seseorang yang mau membantuku. Tapi senyuman itu tidak bertahan lama ketika Rigel membelakangiku sejenak untuk mengambil ponselnya di atas meja di belakangnya, lalu aku melihat sebuah tato berwarna perak dengan bentuk aneh terukir di belakang telinganya. Tato itu terlihat tidak asing. Aku rasa aku pernah melihat tato itu.
Yah, aku tahu, aku melihat tato itu di dalam mimpiku tadi malam!
BERSAMBUNG....
*Catatan: Fear (Ketakutan/Rasa panik), Sadness (Kesedihan), Anger (Kemarahan), Disgust (Rasa jijik), dan Joy (Kegembiraan/Rasa senang) adalah karakter-karakter yang digambarkan bekerja di dalam otak kita untuk mengatur emosi dan perasaan. Karakter-karakter itu muncul pada film animasi berjudul Inside Out.
CHAPTER BERIKUTNYA: CHAPTER 09
Komentar
Posting Komentar