CERBUNG: PINTU SENJA

Pintu Senja

(9th Sequel)

written by
Helena Nasution

Image source: google.com

"Oh, Ya Tuhan, di mana anak-anak?" Nyonya Hermawan mendengus kesal ketika tak ada satu orang pun yang menyambutnya di dalam rumah. Hatinya gelisah ketika memikirkan apa yang sedang terjadi dengan anak-anaknya. "Denim?" Teriaknya sembari kaki-kaki jenjangnya yang mulai keriput menelusuri barisan keramik persegi berwarna merah hati dengan ukiran bunga Hydrangea. Bunga Hydrangea adalah jenis tanaman langka yang hanya dapat ditemukan di Asia, khususnya di Negara Filipina. "Elly? Di mana kalian?" Kakinya semakin cepat menuju kamar Dea, Kim dan Eby. "Oh ya ampun, di mana kalian semua?"
"Ada apa, Ma?" Tanya Tuan Hermawan ketika menemukan istrinya mondar-mandir dengan wajah gelisah di koridor kamar.
"Mengapa tak ada satu orang pun di dalam rumah?" Tanya Nyonya Hermawan dengan nada marah bercampur cemas.
"Tenang, Ma, Denim akan tiba di sini. Dia baru saja mengantar anak-anak ke Blossom Hill, mereka sedang ada kegiatan camping di sana." Jelas Tuan Hermawan.
"Hah, mengapa tidak memberi kabar terlebih dahulu?" Ujar istrinya, masih dengan nada sedikit marah.
"Mungkin mereka sedang terburu-buru. Tadi Denim minta maaf karena terlambat memberi kabar bahwa anak-anak ada kegiatan camping selama 10 hari."
"10 hari? Lama sekali." Wanita paruh baya itu masih belum bisa menghilangkan rasa was-was di hatinya.

Beberapa saat kemudian Denim tiba dengan sebuah mobil tipe MPV berwarna silver. "Maaf Tuan dan Nyonya belum sempat memberi tahu anda, saya baru saja mengantar anak-anak ke Blossom Hill, mereka sedang ada kegiatan camping selama 10 hari. Ini surat pernyataan dari sekolah." Pria bergaya bohemian itu menyerahkan sebuah amplop berisi selembar kertas yang isinya tentang pembenaran sekolah bahwa sedang diadakan kegiatan rutin tahunan, yaitu Big Camp yang biasanya memiliki lokasi berbeda-beda setiap tahun. Ekspresi cemas dari pria dan wanita paruh baya itu seketika memudar, ditambah lagi ketika sebuah Video call masuk dengan latar belakang Blossom Hill terpampang pada layar, dan....Dea sedang tersenyum sumringah sembari memegang ponsel bersama sahabatnya, Rin dan April. 
"Hey, Mom, dad!" Sebuah suara mengalun lembut keluar dari dalam ponsel. "Maaf baru memberitahu kalian, Sekolahku dan Sekolah Kim dan Eby sedang mengadakan Big Camp di Blossom Hill. Kami sudah tiba 20 menit yang lalu diantar oleh Tuan Denim. Kami akan melakukan banyak kegiatan menyenangkan di sini. Apa kalian akan menginap di rumah malam ini?"
"Ah iya, sayang, syukurlah kalau begitu. Kalian baik-baik saja, kan? Bagaimana dengan Kim dan Eby? Apa mereka baik-baik saja?" Nyonya Hermawan mengambil segelas air putih dingin dari sebuah teko keramik di atas meja, lalu meneguknya dalam-dalam. 
"Oh, tentu saja." Gadis bernama Dea itu menyahut dengan nada ceria. "Sebentar, aku akan mencari mereka."
"Oke, baik." Sahut Nyonya Hermawan, sementara Tuan Hermawan hanya duduk di samping istrinya sembari menyaksikan anaknya berbicara di dalam Video. 
"Hey, aku menemukan mereka. Lihat, itu Eby sedang bermain gitar bersama teman-temannya. Apa kalian bisa melihatnya?"
"Ya." Serentak Tuan dan Nyonya Hermawan menyahut dari atas sofa beludru di ruang tengah.
"Dan...itu Kim. Mereka sedang melakukan kegiatan menyanyi bersama." Dea menunjuk ke arah segerombolan anak-anak SMP yang sedang mengelilingi api unggun dan bernyanyi serentak tanpa rasa beban. 
"Ah, ya, kami bisa melihatnya." Ujar Tuan Hermawan, sementara Nyonya Hermawan hanya mengangguk-angguk setuju.
"Baiklah, aku akan tutup videonya. Sebentar lagi aku dan teman-teman akan melakukan acara  Barbecue." Dea tersenyum ceria sementara rambut hitamnya bergerak-gerak lembut karena tertiup angin malam di perbukitan nan asri, di Blossom Hill. 
"Baiklah. Jaga diri kalian baik-baik." Ujar Nyonya Hermawan, sementara hatinya kembali dipenuhi rasa cemas. Entah mengapa rasa cemas itu kembali mengganggu hati dan pikirannya setelah layar ponselnya menampakkan warna hitam karena sambungan teleponnya dengan anak-anaknya telah terputus. 
"Sudahlah, mereka akan baik-baik saja." Ujar Tuan Hermawan yang dapat membaca pikiran istrinya. Wanita itu hanya diam sembari tersenyum tipis dan mengangguk-angguk pelan seperti anak kucing yang manja ketika bertemu majikannya.

Tidak lama kemudian, Elly datang tergopoh-gopoh menemui Tuan dan Nyonya Hermawan. "Maaf Tuan dan Nyonya, saya baru saja selesai berbelanja. Apa yang bisa saya lakukan?"
"Tidak apa-apa." Sahut Nyonya Hermawan. "Tolong masakkan makanan untuk makan malam. Ingat, jangan terlalu asin dan jangan terlalu banyak gula, ya." 
"Dan secangkir kopi wamena*, tolong." Tambah Tuan Hermawan.
"Baik." Ujar wanita yang sudah mulai menginjak usia 50 tahun itu, kemudian pergi menuju dapur.

Sementara itu, jauh di atas Bukit  Bloosom nan asri, pria paruh baya bernama Denim berdiri angkuh dengan senyum iblis yang menggelikan. Matanya berkilat tajam seperti mata pedang yang berbahaya, menyorot tajam ke dalam sebuah lapangan rumput besar yang dipenuhi kerumunan manusia. "Bukan masalah yang sulit." Gumamnya. "Aku bisa menjadi apa pun dan siapapun, dan mengubah siapa saja menjadi orang lain. Aku sudah hampir mendapatkan kuncinya sepenuhnya." Senyuman iblis itu berubah menjadi tawa setan yang biadab. Sungguh makhluk jahannam! Di kejauhan--berbaur bersama kerumunan--di dalam lapangan rumput Blossom Hill, terlihat seorang gadis bernama Dea yang tiba-tiba berubah menjadi gadis lain. Gadis itu telah kembali ke wujud aslinya. Akan tetapi, kenapa Kim dan Eby palsu tidak kembali ke wujud aslinya? Kenapa hanya Dea palsu yang kembali ke wujud asalnya? Apa yang sebenarnya terjadi?

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

"Tatonya bagus." Komentarku ketika aku dan Rigel telah tiba di kebun binatang. Jujur saja, sebenarnya aku tidak berminat dengan masalah seperti itu, apalagi...tato? Yang benar saja, bagiku tato membuatmu seperti berandalan. Ini hanya pendapat pribadi, semua orang tentu memiliki penilaian masing-masing. Bukan berarti aku membenci tato itu sendiri, beberapa tato tetap saja terlihat bagus, aku mengatakan yang sebenarnya. Aku hanya tidak suka jika tato-tato itu menempel pada tubuhmu.
"Oh?" Rigel menatapku dengan ekspresi tanda tanya.
"Maksudku, tato di belakang telingamu." Aku meliriknya sekilas lalu mengalihkan pandanganku pada segerombolan kudanil di dalam kandang besi berwarna hijau pekat di mana tiang-tiangnya menjulang tinggi sampai beberapa meter ke atas.
"Oh, haha, aku juga menyukainya. Aku berniat menghapusnya, tapi belum sempat." Ujarnya sembari tertawa renyah.
"Kenapa dihapus?" Tanyaku sedikit penasaran. 
"Bukan apa-apa. Hanya sedikit bosan. Aku berniat menggantinya dengan tato bentuk lain. Kau punya saran?" Tanyanya sembari tersenyum jahil padaku.
"Tidak, aku tidak memiliki bakat untuk memilih tato yang pas." Kataku sembari tertawa garing.
"Oh, baiklah. Kalau begitu, sebaiknya kita jalan-jalan saja sembari melihat-lihat hewan mungil di sini." Ujarnya.
Aku menganggukkan kepala. "Eh--mungil?" Aku menoleh ke arahnya sembari mengernyitkan dahi. "Ku rasa istilah itu terlalu berlebihan." Kataku ketika hewan-hewan yang kami lihat sejak beberapa saat yang lalu menurutku sama sekali tidak ada yang berbentuk mungil. "Kudanil, macan, gajah Afrika, ular berbisa, singa, apa itu semua terlihat mungil bagimu?" Tanyaku keheranan.
Rigel tertawa terbahak-bahak. "Bukankah mereka terlihat mungil? Lihatlah mereka, semuanya terlihat lucu." Ujarnya tanpa rasa bersalah.
"Baiklah, terserah kau saja." Jawabku sembari memutar kedua bola mataku karena merasa sedikit jengkel.
"Jika kau menjadi hewan, hewan apa yang kau inginkan? Tanyanya tiba-tiba ketika kami baru saja melewati jembatan kecil menuju sebuah danau berwarna emas yang dipenuhi alga Chrysophyta. 
"Aku tidak berniat menjadi hewan." Sahutku.
"Oh ayolah, itu hanya kiasan. Aku juga tidak benar-benar berniat jadi hewan." Dia tertawa. "Baiklah kalu begitu, kau ingin lihat hewan apa lagi?" Tanyanya.
"Kambing." Sahutku datar.
"Kambing?" Dia mengernyitkan dahi. Dan saat itu juga, tawanya langsung meledak. "Kita jauh-jauh ke sini dan kau hanya ingin melihat kambing?" Dia melihatku dengan ekspresi tak percaya.
"Emm--aku hanya ingin tahu apakah kambing di sini juga sama dengan kambing di bumi." Aku menimpali.
"Baiklah, ku rasa sedikit berbeda. Kambing di sini jauh lebih imut. Kau akan langsung jatuh cinta." Celotehnya.
"Ow, benarkah? Aku jadi semakin penasarn." Sahutku. "Kau harus membayarnya jika aku ternyata tidak jatuh cinta." kataku sembari berjalan mendahuluinya.
"Tidak masalah." Ujarnya lantang dengan tingkat percaya diri yang begitu tinggi.

Kami berjalan beberapa menit hingga tiba di wilayah kebun binatang yang dipenuhi kambing berwarna hitam, coklat, dan putih. Secara umum kambing-kambing itu tidak jauh berbeda dengan kambing yang ada di bumi, kecuali bulunya yang lebih lebat dan lembut, serta wajah mereka yang lebih mirip kucing dibanding kambing. Tidak hanya itu, kambing-kambing itu juga memiliki tanduk tiga buah dengan satu buah tandung yang lebih panjang dan lebih runcing, terdapat di bagian tengah kepala, sehingga menyerupai tanduk unicorn. "Cantiknyaa..." Tanpa ku sadari aku menggumam pelan.
"Bukankah sudah kukatakan? Kau pasti akan jatuh cinta." Rigel menatapku dengan ekspresi penuh kemenangan.
Aku mendengus kesal. "Damn!"
"Apa kau sudah puas sekarang?"
"Hmm--." Aku menimbang-nimbang jawaban yang akan kuberikan. "Belum." Sahutku pada akhirnya. Aku belum menemukan apa yang kubutuhkan. Pikirku. "Apa itu di sana?" Tanyaku menunjuk ke sebuah arah di perbukitan, di ujung area yang dipenuhi kambing.
"Itu sebuah bendungan." Jawab Rigel.
"Ayo kita ke sana." Ujarku.
Dia menatapku sesaat sebelum menjawab. "Itu sedikit berbahaya." Ujarnya.
"Kenapa?" Aku berharap dia akan dengan senang hati mengantarku ke sana."Apa kita tidak boleh ke sana? Tanyaku pelan-pelan.
"Kau benar-benar ingin ke sana?"
"Hmm." Aku mengangguk sembari tersenyum dengan penuh harap.
"Baiklah, kita akan ke sana." Ujarnya pada akhirnya.

Aku dan Rigel berjalan ke arah bendungan selama lima menit tanpa menemui masalah apa pun. Aku tidak tahu bahaya apa yang dia maksud. Kami tiba dengan selamat. Aku mengamati lingkungan sekitar, tidak ada hal berbahaya apa pun, kecuali sebuah bendungan dengan sebuah jembatan cantik yang dipenuhi tanaman merambat dengan bunga-bunga berwarna merah muda, aku tidak tahu itu jenis bunga apa.  Selain itu, ada sebuah danau yang lagi-lagi berwarna emas, dan bukit hijau yang dipenuhi berbagai tanaman dengan aneka ragam warna. Aku merasa seperti berada di lembah Skagit, Washington, Amerika, pada musim dingin. Taman ini mengingatkanku pada taman-taman yang sering muncul di televisi pada film-film bergenre romance. "Luar biasa." Aku merasa takjub. "Em--kenapa kau mengatakan tempat ini berbahaya?" Tanyaku penasaran. Tepat sebelum Rigel menjawab pertanyaanku, aku merasakan tanah di bawah kakiku longsor dan aku terjerembab dan masuk ke dalam tanah. Saat itu juga aku benar-benar panik, kepalaku pusing dan berputar-putar. Otakku kembali merekam kejadian dalam mimpiku tadi malam, di mana pasir-pasir di bawah kakiku menyerapku hingga aku menghilang dan masuk ke dalam timbunan pasir tanpa jejak. Apa aku benar-benar akan menghilang? Apa mimpi itu akan benar-benar terjadi? Mimpi itu berputar-putar di kepalaku, di mana seorang pria eksentrik berseragam warna perak berdiri di tepi pantai, sebuah dinding misterius menghalangiku untuk mendekati pria itu, dan Kim serta Eby berdiri di atas kapal pesiar dalam keadaan tak sadar. Aku merasa dunia akan runtuh saat itu juga hingga akhirnya Rigel menyelamatkanku.
Rigel menarik lenganku, dan dengan susah payah aku kembali ke permukaan. Dia menarikku ke dalam dekapannya. Saat itu juga jantungku kian bergemuruh, keringatku bercucuran seolah otakku berhenti bekerja untuk sesaat. Aku melihat wajahnya sekilas. Ini pertama kalinya aku melihatnya ketakutan. Aku juga merasakan ketakutan yang sama, namun di sisi lain aku merasa lega. Aku merasa lega karena aku berhasil selamat dan Rigel adalah orang yang telah menyelamatkanku. Perasaan curiga yang menyelimutiku karena melihat Rigel memiliki tato yang sama dengan orang yang berada di dalam mimpiku seketika itu juga lenyap. Jika dia memang berbahaya, dia tidak akan menyelamatkanku, gumamku pada diri sendiri. Untuk sesaat, aku memutuskan untuk mempercayai pria di hadapanku, meskipun tetap saja, aku harus tetap waspada.
Aku masih berada dalam dekapan Rigel ketika sebuah tulisan yang tampak sedikit samar terpampang pada tiang besi di tepi jembatan di tengah-tengah bendungan. Tulisan itu bernada... 'Capella,'. Aku terkesima, jantungku yang mulai reda kembali bergemuruh. Aku menelan ludah dan entah mengapa aku merasa mulai menemukan titik terang dari segalanya. 
'Capella?' Gumamku dalam hati.

Bersambung...

Catatan: Wamena adalah kopi yang berasal dari Papua (Indonesia) dengan rasa ringan namun beraroma tajam. Kopi ini tumbuh 1500 mdpl pada suhu lebih kurang 20 derajat Celcius.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

NOVEL TRANSLATION: CHAPTER LIST OF HER LADYSHIP'S SCHEME

HER LADYSHIP'S SCHEME

HER LADYSHIP'S SCHEME