CERITA BERSAMBUNG : PINTU SENJA
PINTU SENJA
Written by:
Helena Nasution
Image Source : google.com
Malam sendu sekaligus pekat dan basah. Hujan sore itu menyisakan titik-titik embun di jendela kaca kamarku, akibatnya kaca-kacanya tampak buram dan berkabut. Aku masih mondar-mandir di dalam kamar. Lalu, seketika langkahku yang tak beraturan berhenti di depan jendela. Sejak sore tadi ada yang mengganggu pikiranku. Suara berisik itu masih terdengar sejak sore tadi. Ini kali ketujuh aku mendengar nyanyian dan obrolan santai itu dari belakang lemari yang berada di sebelah kamarku. Setiap hari, semenjak kami pindah ke rumah ini, lebih tepatnya sejak seminggu yang lalu, suara-suara itu selalu terdengar ketika gerombolan awan-awan di udara mulai berubah warna menjadi jingga. Yap, setiap senja suara-suara itu akan mulai terdengar lagi dan lagi. Seolah-olah ada sebuah kehidupan di belakang lemari itu yang setiap harinya dimulai ketika hari mulai menampakkan senja, kemudian berakhir ketika planet Venus mulai menampakkan sinarnya di ufuk timur pada pagi hari.
Aku selalu ingin mencari tahu apa sebenarnya yang berada di balik lemari aneh itu. Sebenarnya, aku masih tidak yakin, apakah suara itu benar-benar berasal dari belakang lemari atau tidak. Hanya saja, suaranya benar-benar akan terdengar semakin jelas ketika aku semakin dekat ke arah lemari tua itu. "Dea, apa yang kamu lakukan di situ? Ayo cepat keluar!" Bentak Mama ketika empat hari yang lalu aku berusaha membuka lemari misterius yang berada di sebelah kamarku. "Ah--ini, Ma. Aku penasaran sebenarnya dari mana suara ribut-ribut itu. Aku pingin tahu sebenarnya ada apa di dalam lemari ini." Ujarku dengan nada gelagapan karena merasa sedikit terkejut dengan suara bentakan Mama. "Kamu tidak boleh buka lemarinya. Engga ada yang boleh buka lemari ini. Kita baru aja pindah ke sini. Jangan sampai kita bikin masalah di sini." Ujar Mama.
"Masalah apa, Ma?" Tanyaku masih sangat penasaran.
"Siapa yang tahu masalah apa yang akan terjadi?" Sahut Mama lagi, sambil menggiringku keluar dari kamar itu, kemudian menutup pintunya rapat-rapat dan menguncinya dari luar. Anak kuncinya dimasukkan ke dalam saku daster Mama yang berada di sisi kanan baju. "Pokoknya jangan pernah coba-coba buka pintu kamar ini apalagi buka lemari itu. Mengerti?" Masih dengan suara yang agak marah Mama memandangi kedua mataku lekat-lekat, berusaha menemukan ceruk kepatuhan di mataku bahwa aku akan sungguh-sungguh mematuhi perkataannya.
"Tapi, aku tidak bisa tidur kalau ada suara berisik seperti itu, Ma." Aku masih merengek seperti anak kecil, berusaha membantah perkataan Mama.
"Iya, Mama tahu. Mama juga merasa itu sangat berisik. Tapi kita belum tahu ada apa di sana. Kita harus lebih hati-hati melakukan tindakan sebelum ada masalah yang muncul. Kita juga tidak tahu sebesar apa masalah itu jika kita melakukannya dengan sembarangan." Kata Mama--berusaha memberi pengertian padaku.
Aku menatap Mama dalam-dalam. Masih ada banyak pertanyaan yang berseliweran di kepalaku. Misalnya saja, Mengapa Mama begitu terkejut ketika melihatku berada di dalam ruangan dan berada sangat dekat dengan lemari itu? Memangnya masalah apa yang akan terjadi? Mengapa tidak boleh membuka lemarinya? Mengapa Mama mengunci pintu kamar itu? Sebegitu besarkah masalah yang akan muncul jika lemari itu dibuka? Jika memang akan ada masalah, mengapa tidak segera diselesaikan? Dan yang lebih penting lagi, mengapa harus memilih rumah ini sebagai tempat tinggal kami yang baru jika rumah ini akan menimbulkan masalah? 'Hah, yasudahlah.' Batinku. Saat ini aku masih berusia 15 tahun, dan aku masih belum diberi kepercayaan untuk mengambil keputusan sendiri layaknya orang-orang dewasa. Aku memiliki dua orang adik kembar dengan usia yang sama, yaitu 12 tahun. Laki-laki dan perempuan. Mereka bernama Eberly dan Kimberly. Eby alias Eberly lebih dulu lahir lima menit sebelum Kim lahir. Mereka sekarang duduk di kelas 1 SMP, sementara aku duduk di kelas 1 SMA.
"Kita akan menyelesaikan masalahnya nanti bersama-sama. Percaya sama Mama." Tambah Mama, ketika melihat mataku masih diliputi keraguan.
"Baiklah, Ma." Ujarku pada akhirnya. Menyerah pada Mama untuk tidak mendekati ruangan maupun lemari tua itu, bukan berarti aku menyerah untuk mencari tahu. Aku bukan tipe orang yang dengan sekejap bisa menghilangkan rasa penasaranku begitu saja. Dan benar saja, hingga saat ini hampir seluruh pikiranku masih tersita dengan kejadian aneh yang terjadi di belakang lemari itu.
Lalu, untuk ke sekian kalinya, aku melangkah menuju dinding kamarku yang juga menjadi dinding kamar di sebelahku, di mana tepat di seberangnya, sebuah lemari tua yang masih terlihat kokoh berdiri gagah dengan tinggi nyaris menyentuh langit-langit ruangan. Aku menempelkan telingaku pada dinding itu. Jujur saja, selama yang aku dengar hingga saat ini, tidak ada suara yang benar-benar horror seperti suara perempuan yang cekikikan atau suara derik pintu yang berulang-ulang atau suara serigala yang melolong panjang seperti kebanyakan di film-film horor. Suara-suara yang terdengar dari belakang lemari terdengar lebih santai dan damai. Aku sering mendengar bunyi hempasan ombak yang menghempas karang di lautan, lalu diikuti suara kepakan sayap segerombolan burung, lalu suara tawa orang-orang dewasa yang terdengar renyah dan santai, suara desiran angin yang terdengar tipis dan menenangkan, kemudian suara tawa anak-anak kecil yang bahagia, kemudian suara obrolan yang terdengar tanpa masalah. Yang menjadi masalah adalah, aku sama sekali tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Bahasa mereka mirip dengan bahasa Yunani kuno yang sering ditampilkan pada film-film yang menyuguhkan cerita-cerita mitologi Yunani. Lalu, masalah yang paling besar adalah mengapa ada suara-suara yang demikian terdengar dari belakang lemari kayu tua? Mungkinkah ada orang iseng yang meninggalkan ponselnya di dalam lemari kemudian mengaturnya untuk selalu menyala sepanjang malam dimulai sejak senja merayapi langit hingga bintang fajar tersenyum sumringah sebelum matahari terbit? Lalu, mengapa Mama harus marah-marah padaku ketika aku mendekati lemari itu jika benar itu hanya ulah orang iseng? Lagi pula, apakah orang yang melakukannya tidak punya pekerjaan lain yang lebih penting dan lebih bermanfaat daripada sekedar meninggalkan ponsel dengan cerita pantai di dalam sebuah lemari tua? Maksudku, jika memang benar itu merupakan ulah orang iseng.
Well, sampai saat ini, aku belum menemukan petunjuk apa pun tentang apa yang terjadi di balik lemari itu. Lalu, untuk mencari jawaban-jawaban atas seluruh pertanyaanku yang merajalela di kepalaku, aku diam-diam sering mengunjungi perpustakaan tua yang berada di ruang bawah tanah di dalam rumah ini. Aku tidak sengaja menemukan perpustakaan tua ini ketika aku menelusuri bangunan ini yang sekarang tengah menjadi tempat tinggalku. Bangunan ini luar biasa besar. Rasanya terlalu besar jika hanya dihuni oleh keluarga kecil yang terdiri atas Ibu dan Ayah, kemudian seorang anak perempuan berusia 15 tahun dengan dua saudara kembarnya dengan usia tiga tahun lebih muda darinya. Oh iya, ditambah dengan seorang perempuan berusia lima puluh tahun yang sudah dipercaya bertahun-tahun untuk menjaga kami di rumah ketika Mama dan Papa sedang bekerja, terutama ketika pekerjaan itu menuntut mereka harus sering-sering ke luar kota. Lalu, ditambah juga dengan seorang sopir berusia paruh baya yang sering mengantar kami ke mana-mana, dan dua orang Pak Satpam yang sudah dengan setia selama 10 tahun menjaga rumah kami sejak kami berada di Ibu kota hingga sekarang pindah ke daerah yang sedikit terisolasi akibat tuntutan pekerjaan Papa yang merupakan seorang direktur di perusahaan tambang minyak tanah. Dan kami sebagai anak-anaknya, suka atau tidak suka, harus dengan sukarela berpindah-pindah sekolah. Aku sendiri sudah lima kali pindah sekolah. Dua kali ketika aku berada di SD, dua kali ketika berada di SMP, kemudian terakhir kali adalah ketika aku hendak memasuki tahun pertamaku di SMA, lebih tepatnya sejak seminggu yang lalu.
Ngomong-ngomong, kembali soal suara-suara aneh itu, terkadang aku merasa seperti pengidap Mesophonia, seseorang yang begitu paranoid dan sensitif terhadap suara tertentu. Entah mengapa aku juga jadi sering merasa terganggu dengan suara-suara di sekitarku tidak peduli apa yang mereka bicarakan. Suara-suara itu terasa begitu mengusik. Hah, ini benar-benar menjengkelkan. Aku benar-benar tidak menyukai keadaan ini.
Aku masih menempelkan telingaku di dinding kamarku yang menjadi bagian belakang di mana lemari itu menempelkan punggungnya. Aku mendengarkan dengan seksama setiap kata yang mereka sebutkan meskipun sama sekali tidak mengerti satu hal apa pun mengenai pembicaraan mereka. Lalu, ketika tengah asyik mendengarkan, aku terkejut ketika mendengar ketukan yang sangat keras dari belakang dinding. Ketukan itu berulang hingga tiga kali, mirip suara seseorang yang tengah mengetuk pintu rumah yang dikunjungi, suara itu benar-benar terdengar sangat jelas, seolah-olah dinding kamarkulah yang sedang diketuk dari seberang ruangan. Beberapa saat kemudian, suara ketukan itu berhenti, diiringi dengan percakapan singkat oleh dua orang. Dua suara itu seolah-olah mengobrol seperti ini, "Tidak ada orang di dalam. Kita pergi saja." Lalu, " Baiklah." Suara yang kedua menyahut. Well, aku tidak tahu apa yang sebenarnya mereka katakan, aku hanya merasa seolah-olah mereka berbicara seperti itu.
Sejenak di seberang ruangan terasa sangat sunyi, hingga akhirnya beberapa suara kembali mengobrol dan tertawa. Kondisi sekarang benar-benar mirip seperti di pasar, semuanya berbicara tanpa henti. Tidak tahan dengan gemuruh suara-suara yang saling tumpang tindih itu, aku keluar dari dalam kamar dan berjalan menuju lantai satu, di mana Eby dan Kim tengah menyantap roti putih dengan selai srikaya. Keduanya tengah santai membaca majalah sambil tiduran di atas sofa. Aku bingung mengapa mereka sama sekali tidak keberatan dengan suara berisik itu ketika aku hampir putus asa menutup kedua telingaku untuk tidak mendengarkannya. Yah, mungkin karena kamar mereka berada lantai bawah, di sebelah kamar Bibi Elly--pengasuh kami sejak kecil. Jadi, mereka sama sekali tidak mendengarnya. Tapi, bukankah Eby dan Kim sudah beberapa kali ke lantai atas, terutama ketika mereka hendak berenang dan menikmati sinar mentari? Apalagi, saat ini adalah musim panas, aku beberapa kali melihat mereka bersantai di atas. Mereka bahkan menyulap ruangan terbuka yang berisi kolam renang itu menjadi seolah-olah pesisir pantai untuk menikmati deburan ombak yang meneduhkan. Mereka mengisi pinggiran kolam renang dengan pasir bersama-sama dengan Tuan Denim--si Pak sopir yang setia. Lalu, bagaimana mungkin mereka sama sekali tidak mendengar suara itu? Hah, ini benar-benar semakin membuatku seperti pengidap Mesophonia. Aku jadi merasa kesal sendiri.
"Sore, twin, di mana Bibi Elly?" Tanyaku ketika aku masih berada di tangga. Sebentar lagi akan tiba di bawah. Tidak ada satu pun dari mereka berdua yang mendengarkanku. Mereka bahkan tidak bergerak dari posisi awal mereka. Dengan sedikit rasa kesal, aku menghampiri mereka. Aku mengambil majalah Eby dari kedua tangannya. Dia tampak kesal. " Apaan, sih?" Entah mengapa Eby sekarang mulai terobsesi menjadi cowok atletis. Aku melirik majalahnya sekilas. Judulnya tentang 'Bagaimana menjadi pemain basket yang profesional'.
Image Source: Google.com
"Kau tahu di mana Bibi Elly?" Aku mengulangi pertanyaanku.
"Mengapa tidak kau cari tahu saja sendiri?" Protesnya.
"Oh, Ya Tuhan!" Aku memutar kedua bola mataku dengan rasa kesal. Entah mengapa kadang mereka berdua memang terasa menjengkelkan.
" Terakhir kali aku melihatnya di halaman depan. Dia sedang mengobrol dengan Tuan Denim. Kau cari saja sana." Katanya, sembari mengambil kembali majalahnya dari tanganku. " Aku sedang membaca. Jadi tolong jangan mengangguku."
Aku mengernyitkan dahi dengan ekspresi kesal. Aku lalu melihat Kim yang sama sekali tidak berkutik dengan kedatanganku. Di kedua tangannya terselip majalah 'Diet Terbaik untuk Remaja'. Lalu, di bawah judul besar itu terdapat tulisan yang sedikit lebih kecil, yaitu 'Bagi kamu-kamu yang pengen langsing, buku ini pas buat kamu'. 'Ya ampun!' Aku memekik dalam hati. Aku bahkan tak tahu bagaimana caranya diet, dan aku sama sekali tak pernah berpikiran untuk mengurangi berat badanku atau bagaimana caranya agar terlihat langsing. Aku penasaran bagaimana mereka bisa begitu tertarik dengan majalah-majalah seperti itu, sementara kamarku sendiri hanya dipenuhi dengan komik dan novel cerita detektif dan dunia fantasi. Oke, baiklah, aku tidak akan mempermasalahkan itu, karena aku tahu setiap orang memiliki selera yang berbeda-beda.
Aku beranjak dari ruangan di mana si kembar tengah asyik dengan dunianya sendiri. Aku berjalan ke arah pintu, melongo ke luar untuk mencari keberadaan Bibi Elly. Ada sesuatu yang hendak kutanyakan padanya. Tapi tidak seperti yang dikatakan Eby, aku sama sekali tidak menemukan perempuan tua itu di halaman depan. Aku juga tidak melihat Tuan Denim di sana. Sejenak aku ingin menanyakan mereka kembali tentang di mana Bibi Elly, tapi rasanya itu hanya akan sia-sia saja. Aku lalu memutuskan untuk pergi ke perpustakaan ruang bawah tanah. Eby dan Kim belum tahu soal tempat ini. Tapi aku tidak tahu apakah Mama dan Papa sudah mengetahuinya, lalu mereka memberitahu Tuan Denim, Bibi Elly dan kedua Pak Satpam yang biasanya berjaga di halaman depan. Entahlah. Saat ini aku tidak peduli dengan kebenaran bahwa 'mereka tahu soal perpustakaan tua itu'. Aku lalu membuka pintu menuju ruang bawah tanah yang berada di sebelah gudang, di halaman belakang. Aku menyalakan tombol lampunya yang berada di sebelah kananku ketika aku membuka pintu, dan ternyata lampunya masih menyala, dan tentu saja, aku sangat bersyukur akan hal ini. Aku tidak perlu merasa takut atau tidak nyaman karena berada di dalam kegelapan ruangan bawah tanah.
Ini kedelapan kalinya aku memasuki ruangan ini. Ruangan pengap dengan aroma tanah segar yang sangat kental, bersatu dengan aroma kertas-kertas tua yang sudah lapuk. Aku berjalan menuruni tangga sembari membiarkan pintunya terbuka untuk berjaga-jaga. Aku juga membawa senter untuk berjaga-jaga kalau-kalau lampunya tiba-tiba mati. Belum sampai kakiku menginjak lantainya, aku sedikit terkejut dengan suara benda yang jatuh. Langkahku terhenti seketika. Aku mengamati seluruh ruangan, dan aku gagal menemukan sesuatu yang janggal, sampai akhirnya pandanganku mendarat pada meja tua nan kecil di mana kemaren sore aku duduk di kursinya sambil meletakkan beberapa buku di atasnya. Aku ingat sekali aku meninggalkan meja itu dalam keadaan berantakan, di mana beberapa buku berserakan di atasnya. Aku juga ingat kalau aku meninggalkan dua bungkus snack yang sudah kosong di atas meja. Lalu, mengapa sekarang meja itu terlihat sangat rapi? Siapa yang sudah membersihkannya? Aku mengira, mungkin itu Bibi Elly yang melakukannya. 'Ternyata mereka sudah tahu tentang perpustakaan ini', gumamku dalam hati.
Aku kemudian melanjutkan langkahku ketika tiba-tiba kembali terhenti oleh sesuatu di ujung ruangan. Aku masih berada di tangga, karena tangganya lumayan panjang. Sekitar lima tangga lagi aku tiba di bawah, tapi langkahku terhenti oleh sosok seorang perempuan. Dia adalah Bibi Elly. Tapi entah mengapa dia terlihat beda dan wajahnya terlihat lebih pucat dari biasanya. " Bibi Elly?" Panggilku dari tempatku berdiri. Perempuan tua itu tidak menyahut. Dia hanya mengamatiku dengan tatapan dingin dan beku. "Apa yang kau lakukan di bawah sana?" Tanyaku lagi, dengan nada sedikit berteriak. Perempuan itu tetap tak menggubris pertanyaanku. Dia hanya mematung seolah tak mendengarku. Tapi pandangannya...aku yakin dia sedang melihat ke arahku. Tanpa pikir panjang dan merasa sedikit takut, aku kembali menaiki tangga dan berlari ke lantai satu. Aku berhenti di depan pintu dan melihat kembali ke sudut ruangan di mana Bibi Elly berada. Perempuan itu masih berdiri di sana, TANPA MELAKUKAN APA PUN. 'Apa dia itu hanya manekin?' Tanyaku dalam hati. 'Mengapa dia sama sekali tidak bergerak? Tapi bagaimana mungkin? Ini pertama kalinya kami ke sini, dan ada sebuah manekin yang benar-benar mirip dengan Bibi Elly? Ini sama sekali tidak mungkin!' Bantahku dalam hati.
Aku menutup pintu perpustakaan itu tanpa mematikan lampunya. Perempuan itu sama sekali tidak protes ketika aku menutup pintunya. Lalu, ketika aku membalikkan badanku, aku terkejut ketika aku mendapati Bibi Elly di belakangku. Aku menelan ludahku sendiri yang terasa semakin kelu. Aku mulai berkeringat dan ketakutan. "Dea?" Dia memanggilku dengan ekspresi bingung. " Apa yang kamu lakukan di sini?"
"Ah, aku hanya sedang jalan-jalan melihat isi rumah ini." Aku berusaha mengendalikan diriku. "Lalu, bagaimana dengan Bibi?" Tanyaku.
"Aku diminta Tuan Denim untuk mengambil perkakasnya di gudang. Mobilnya sedikit rusak" Sahutnya. Dia sama sekali tidak terlihat aneh seperti di dalam perpustakaan tua itu. Aku lalu bertanya-tanya bagaimana mungkin ada dua Bibi Elly di rumah ini?
"Oke, aku akan ke tempat Eby dan Kim. Aku sedikit lapar." Kataku dengan sedikit ketawa, meskipun sejujurnya aku masih sangat ketakutan dengan kejadian yang baru saja menimpaku.
"Baiklah." Sahutnya. "Apa kau mau aku buatkan Chicken Cream Soup?"
"Ah, tidak perlu. Terima kasih, Bi." Kataku.
"Oke, baiklah. Aku ke gudang dulu, ya." Katanya sambil berlalu.
"Baik, Bi." Ujarku.
Aku berjalan cepat-cepat menuju tempat Eby dan Kim sambil sesekali melihat ke belakang hingga akhirnya perempuan itu menghilang di ujung koridor menuju gudang. Beberapa saat kemudian, aku tiba di ruangan besar di mana si kembar sama sekali belum berkutik dari tempat mereka semula. Aku menghempaskan diri di atas sofa sambil mengatur nafas. Aku mengambil botol minuman Kim yang berisi sari jeruk manis, kemudian meminumnya seperti orang yang baru saja menemukan mata air di gurun sahara. Kim melirikku dengan kesal karena menghabiskan minumannya. Tapi sepertinya majalah dietnya lebih menarik dibanding dengan memulai keributan denganku. Aku senang dengan hal itu, jadi aku tak perlu adu mulut dengannya seperti biasa.
Sesaat setelah aku merasa lebih tenang, aku melihat Bibi Elly datang dari arah gudang. Dia tidak membawa perkakas seperti yang dia katakan sebelumnya. Apakah perkakasnya tidak ada di gudang? Perempuan itu berjalan tergopoh-gopoh dengan raut wajah sangat pucat. Aku baru saja melihat raut wajah seperti itu di dalam perpustakaan. Tapi raut wajahnya ketika berpapasan denganku sama sekali tidak pucat, dan dia terlihat sangat normal seperti biasanya. Mengapa wajahnya kembali pucat? Aku penasaran. "Bibi Elly?" Aku memanggilnya secara spontan. Dia melihatku, kemudian menghampiri kami di sofa. "Apa yang terjadi?" Tanyaku. Dia terlihat sangat ketakutan seperti yang terjadi padaku sebelumnya. Dia lalu duduk di atas sofa. Aku memberinya air mineral yang berada di teko di atas meja.
"Dea, apa kau tadi mengikutiku ke gudang?" Tanya Bibi Elly. "Aku melihatmu di gudang."
BERSAMBUNG...
CHAPTER BERIKUTNYA: CHAPTER 02.
Komentar
Posting Komentar